tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Kamis, 09 Juli 2009

perjalanan ke kediri

02 februari 2005

Aku tiba dengan selamat di Bone jam 2 siang. Perjalanan selama 8 jam dari Mangkutana dengan mengendarai bus Wandy, cukup melelahkan. Namun tak menyurutkan asaku tuk melaksanakan niatku. Niatku sudah bulat. Segala resiko yang menghadang telah kupikirkan sejak sebulan menghabiskan liburan semester bersama orangtuaku di dusun Lembo harapan . Namun semua itu dikalahkan oleh semangatku yang begitu membara dari hari ke hari.

Tanpa mengganti pakaian, hanya sebuah tas yang kubawa dari kampug, kumasukkan ke dalam kamar. Aku lalu menunggu pete-pete yang menuju kota Watampone. “Puang! Mauka ke Bone dulu”. Pamitku pada Puang Jinne, tanteku. Yang baru dating dari kebun yang tak jauh dari rumahnya.

Di sentral, aku langsung menuju travel. Ternyata aku salah liat kemarin di perwakilan bus 237 surabaya yang juga mengangkut penumpang yang mau ke pelabuhan yang tak jauh dari desaku. Besok, ternyata ada kapal menuju Surabaya.

“Berapa ke Surabaya, pak?” Tanyaku pada penjul tiket yang duduk di belakang sebuah meja.

“200.000, dengan ongkos mobilnya ke Makassar”. katanya.

Ternyata tidak terlalu mahal. Kirain sekitar 300 atau 400 ratusan. Sekarang, tinggal pulang ke rumah tanteku mengambil tas yang aku bawa tadi dari Mangkutana. Dengan bermodalkan uang 800.000, aku akan ke kediri. Sebenarnya ada 1.000.000. yang 200.000 nya tadi kan ongkos tiket. Uang ini aku kumpulkan selama liburan. Dengan mengambil sedikit demi sedikit uang dari laci ayahku.

Ayahku seorang pedagang. Usahanya jaul beli coklat dari para petani. Kemudian setelah kering, di jual di makassar, dengan menggunakan mobil truk. Terkadang juga hanya di jula di Sekayu, sebuah perusahaan pembelian coklat yang hanya membutuhkan waktu 1 jam dengan mobil dari rumahku. Itupun kalau coklat yang di beli tidak cukup 1 truk tuk di bawa ke makassar. Karena rugi di ongkos. Dengan membantu ayahku menjadi kasir, aku bebas untuk mengabil uang. 50.000 atau 100.000, tak jadi masalah bagi ayahku. Yang bermasalah, adalah ibuku. Dia terlalu boros. Selalu meminta uang banyak padaku ketika aku memegang kunci laci. Kalau 100.000 atau 200.000 sih mending. Mintanya minimal 1000.000. banyaklah yang dia mau atur katanya. Perdebatan singkat pasti terjadi. Bagaimanapun dia adalah ibuku. Biarpun aku jengkel, aku tak pernah menggunakan kata-kata kasar saat menolak permintaannya. Biasanya, kunci langsung di ambil dari tanganku. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku berikan saja. Tapi setelah itu, aku pasti beritahukann ayahku. Tapi kalau sudah berkali-kali ambil, pasti di marahi. Masalahnya, semua uang yang di laci, bukanlah milikk ayahku. Semuanya punya petani. Petani yang sudah jual coklat, kalau harga coklatnya ada 10 juta, palingan hanya di ambil 1 juta. Nanti setelah mereka butuh, baru dating dengan membawa nota. Ayahku hanya memutar uang itu untuk berdagang. Selalu merasa untung ketika di pembukuan. Tapi akan buntung, ketika dihadapkan pada kenyataan. Uang yang dipembukuan tak sebanyak uang yang ada di tangan. Itu semua karena ulah ibuku. Mungkin karena telah terbiasa dengan kemewahan, sehingga tak bisa menahan keinginannya ketika usaha ayahku mulai surut dengan begitu banyaknya pedagang coklata yang mengikuti usaha ayahku yang lebih agresif. Mereka tidak hanya menunggu di rumah seperti ayahku . tapi mereka mendatangi para petani, membantu menggaruknya dan mengumpulkannya.

Ibuku terkenal dengan kemurahannya, sehingga mungkin malu, jika tak memberikan sesuatu. Ibuku terlalu baik pada orang yang baik pada dirinya dan yang selalu mengikuti kemauannya. Selalu memberi orang-orang yang di sekitarnya. Kalau ke makassar, pasti ada setumpuk oleh-oleh yang di bawa untuk para tetangga atau kenalannya. Mulai dari handuk, celana dalam, dll. Asal tahu saja, uang yang di gunakan tuk berbelanja itu, terkadang uang hasil pinjaman. Padahal, orang-orang yang diberikan itu lebih kaya dari kami. Dari segi penglihatan, mungkin kami yang kaya. Tapi sesungguhnya, sejak kebakaran yang menimpa kelurgaku, ayahku menanggung kerugian begitu banyak. Sehingga terpaksa ayahku mengambil kredit di BRI 300 juta untuk memulai usahanya kembali. Tidak semuanya sih ia gunakan untuk usaha. Sebagian lagi ia gunakan untuk membeli kebun coklat di daerah pendolo, sulawesi tengah. Karena nampaknya, usaha dagang coklat semakin hari semakin tak menjanjikan. Beberapa bulan lalu saja, ayahku rugi 5 juta. Kepintaran para petani tuk menipu membuat coklatnya di beli mahal, namun ternyata tercampur dengan coklat yang mentah.

Ibuku juga terkenal dengan keganasannya. Pukulan kayu, pastilah semua saudaraku pernah mengalaminya, jika tak mematuhi perintahnya. Itu sewaktu kami kecil. Tapi sekarang tidak lagi.hanya marahnya saja tak pernah padam. Sedikit-sedikit, marah. Makanya, jarang ada yang bisa bertahan lama, tinggal di rumahku. Semuanya pada lari. Walaupun hadiah- dan uang sering diberikan. Daeng Murniku saja, sepupu satu kaliku, anak dari saudara ibuku yang telah almarhu,ah, yang telah lama tinggal dengan kami, sejak kepindahan keluargaku dari bone ke mangkutana untuk berkebun. Dia begitu sabar dan penurut. Tapi akhirnya melarikan diri ke Malaysia dan bekerja di play wood, perusahaan tripleks. Daeng murniku begitu saying dengan rambutnya. Banyak hal yang dia lakukan agar rambutnya bisa hitam dan subur. Setelah semua pekerjaannya selesai, iaun akan bercermin dan menyisir rambutnya dengan pelan. Takut rontok. Rambutnya panjang melwati bahu. Tapi ibuku menyuruhnya di potong. Katanya panas kelihatan. Mengganggu kalau lagi bekerja. Tidak simple. Berkali-kali perintahnya tak diindahkan, akhirnya ibuku marah. Mungkin kesabarannya telah habis, menghadapi sikap ibuku yang selalu merasa benar. Hanya masalah rambut sehingga dia pergi membawa semua pakaiannya. Dia pulang ke bone. Kalung, gelang dan perhiasan lain yang dimilikinya, ia jual tuk biaya ke Malaysia. Karena di amalysia, banyak keluargaku yang bekerja di sana. Baik di somel, perkebunan kelapa sawit ataupun playwood. Dan selalu saja ada keluargaku yang pulang balik berdagang ke Malaysia. Dengan merekalah dia ikut.

***

Aku pilih-pilih barang yang mau kubawa. Yang aku rasa tidak penting, aku simpan. Karena di tas aku bukan hanya baju. Ibuku tadi memasukkan bermacam-macam makanan kering. Ada mie, susu, kue dan lain-lain. Kadang aku jengkel dengan ibuku. Apa saja ia menyuruhku membawanya. Sekarang sih sudah berkurang. Sewaktu aku sekolah di pesantren pondok madinah maksaar, bawaanku seperti orang mau pindah rumha aja. Aku terkadang malu dengan tema-temanku yang melihat barangku. Ada pisang 1 karung, kadondong i karung, kelapa 10 biji, belum lagi blek-blek yang berisi kue-kue kering…..Tapi kalau sudah sampai, aku malah bersyukur. Punya ibu kayak ibuku begitu perhatian dan saying padaku. Sehingga aku tinggal di pesantren tak terlalu pusing sola makanan. Uang sakukupun dobel. Lain dari ayahku, lain lagi dari ibuku. Tapi semuanya tak kubawa. Paling yang aku bawa 1 blek kue untuk aku makan, 1 kantong kadondong dan pisang untuk para Pembina dan teman-teman.

Ini perjalanan jauh. Dan aku juga tak tau, apa nanti yang akan aku hadapi di sana.

“Puang. Aku mau ke watampone. Ada perkampungan bahasa di kampusku. Mungkin sekitar satu minggu”. Pamitku lagi dengan tanteku yang kebetulan lewat depan kamarku. Alasan itu baru kudapatkan tadi. Berapa kali kalimatitu kuulang-ulang agar nanti lancer saat kukatakan pada tanteku. Aku tak mau terlihat gugup. Nanti ketahuan.

Diapun masuk dan memperhatikan barang-barang yang aku keluarkan dari tas.

“tiwi’ni iye susue sibawa mie”. Menyuruhku membawa mie dan susu. Benar juga sih. Bisa di makan dikapal. Aku pernah sekali ke Jawa sewaktu kelas 3 smp Pondok Madinah dalam acara study tour keliling Jawa, mengunjungi beberapa pesantren. Mulai dari pesantren At-taufik yang di Surabaya yang menggunakan bahasa Jawa dalam mengartikan kitab kuning, dengan alasan membudayakan bahasa Jawa. Pesantern Al-Amin di Madura yang langsung menyuguhi rombongan kami dengan sate maduranya yang terkenal. Di sini mereka tidak menggunakan kurikulum nasional. Sehingga terkadang tamatannya, tidak bisa di terima di sekolah-sekolah negeri. Entah sekarang. Tapi dengan metode yang digunakan oleh mereka, mereka bisa menghasilkan tunas-tunas, bukan saja ahli dalam bidang ilmu agama, tapi juga bisa menguasai dua bagaha, arab Inggris. Tentunya, ini bisa di raih jika para pembimbingnya memiliki istiqamah yang kuat dan kedisiplinan yang tinggi dalam menegakkan aturan. Terakhir yang aku kunjungi adalah Pesantren Darussalam putrid yang di ngawi. Nampaknya pendidikan di sini sama dengan yang di al-amin. Para santri juga di tuntut untuk menguasai dua bahasa. Menariknya, Di sini mereka bebas memilih dalam menjalankan syariat menurut 4 Imam Besar kita yang terkenal. Makanya jangan heran, kalau melihat cara berwudhu yang berbeda antara santri satu dengan yang lainnya.

Aku sangat senang, karena bisa menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Jawa. Setidaknya aku bisa berbangga dan bercerita nanti dengan teman-teman sekolah ataupun tetangga-tetanggaku di kampong, di mangkutana. Di sana daerah transmigrasi. Ada orang Jawa, bali, dan lombok. Mengaku orang jawa, tapi tak pernah ke sana.

Aku masih ingat, ketika pertama kali menginjakkan kaki di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Ada patung beasrmenyambut kedatangan para penumpang kapal. Di bawah sana, orang-orang begitu ramai. Sama seperti di pelabuahn dimakassar. Di kota besar, perubahan dan pembangunan begitu pesat. Masihkah sama dengan yang dulu?

Semuanya telah siap. Akupun menunggu pete-pete yang kedua kalinya di depan gardu kecil tanteku, yang menjual kebutuhan sehari-hari dan juga makanan ringan. Paling juga yang beli hanya kelurga di sekitarny dan mas-mas pembeli plastic-plastik bekas, yang menempati rumah keluargaku yang di tinggal pergi untuk berkebun. Salah satunya adalah rumahku. Sewanya 25 rb perbulan . lumayan untuk menambal kekurangan biaya kuliahku. Padahal rumha itu, temboknya telah banyak yang runtuh. Keluiargaku tak ada lagi yang berani meninngalinya. Takutnya, sementara tidur, tiba-tiba rubuh. Tapi mas dan sekeluarga bilang, “selama masih disewakan saya akan tetap tinggal di sini”.

“Lokkana’ Puang”. Kujabat tangan tanteku. Mungkin dia heran. Biasanya kau menjabat tangannya jika aku mau pergi jauh. Padahal pamitku kan hanya ke kampus yang jauhnya 17 km. Tapi kali ini sekitar satu minggu. Dia pasti tidak curiga.

“mau kemana numi?” Mas bambang yang lagi memperbaiki gerobaknya beranya. Di rumah biasanya aku di panggil dengan nama Numi.

“Ke bone!” senyum ke arahnya, lalu aku naik.

“Bismillah”.

Tanteku menaap kepergianku. “Addampengekka Puang” batinku.

Tanteku bukan orang ganas. Dia baik. Palingan aku hanya menyapu dan cuci piring di rumahnya. Dia malah bersyukur sekali karena aku pindah kuliah dari makassar dan tinggal di rumahnya. Ada yang menemani. Ke dua anaknya yang semuanya perempuan, telah menikah dan tinggal di mangkutana berkebun. Anak tertuanya selain menjadi sepupu, juga menjadi kakak iparku. Dia menikah dengan kakak pertamaku, Amir yang sarjana pertanian, yang akhirnya memilih menjadi petani. Pernah sih, mengabdi selama enam bulan di bone di kantor pertanian. Namun gajinya tak memuaskan. Di mangkutana malah pada pendaftaran CPNS, dia ikut dan ayahku berniat untuk menyogok, berapapun itu, tapi tetap nihil. Ribuan pendaftar dari berbagai daerah namun hanya 1 yang mau di terima. Dan yang di terima adalah anak seorang pejabat.

03 februari 2005

Di kapal, aku tak sendirian. Ada Nisa yang pengantin baru bersama ibu dan ibu mertuanya yang mau balik ke Sumatra, tepatnya di Kuala Enok setelah ziarah kubur di Bone. Mereka ini semuanya orang Bone yang merantau ke Sumatra. Adapt kami orang bugis, setelah menikah, hendaknya berziarah kubur. Suaminya yang kerja di kuala Lumpur sebagai sopir, telah lebih dahulu pulang ke Malaysia lewat Pelabuhan Pare-pare. Dia memperlihatkan foto suaminya. Cakep juga. Nisanya juga orangnya cantik kok. Putih dengan rambut yang panjang. Aku teringat Musdalifah Iparku. Ada kemiripan dengannya.

Di samping bangsal kami yang hanya di alangi jala-jala besi, ada mas-mas penjual roti yang lucu-lucu dan lugu-lugu. Mas-mas itulah yang menolomg kami, sehingga bisa mendapatkan tempat yang bagus. Karena ketika tahu kalau semua yang ada di mobil itu semuanya penumpang kapal, kami tiba-tiba langsung akrab. Merasa punya teman yang bisa membantu. Aku cukup terhibur dengan cerita-cerita lucu mereka. Kadang juga kami tebak-tebakan. Aku cukup terhibur, walaupun terkadang terbersit ragu. Akankah aku sampai dengan selamat nantinya di Pare? Tak ada alamat yang kupegang. Hanya cerita dari teman-teman yang pernah ke sana, begitu melekat dalam otakku seakan-akan aku begitu kenal dan yakin, pasti aku takkan menemukan kendala yang berarti.

Nisa sekeluarga, begitu senang dengan keberadaan dan mas-mas penjual roti. Saat makan tiba, mas-mas siap mengambilkan. Karena ternyata baru kali ini mereka bepergian dengan kapal. Mau buang air kecil, mandi, aku selalu siap menjadi penunjuk jalan. Aku juga lupa-lupa ingat. Tapi aku berani berjalan mencari dan meyusuri lorong-lorong kapal sambil memperhatikan para penumpang kapal yang lain. Ada yang tidur, ngobrol, baca buku dan juga lagi nonton. Asyik juga nih. Sayangnya di tempatku tak ada TV. .

Malamnya, ada pengumuman kalau akan ada pemutaran film. Mas-mas penjual roti itu mengajak nonton. Aku ajak Nisa. Tapi dilarang oleh orangtuanya. Dia kan pengantin baru. Tentunya dilarang untuk pergi dengan cowok lain. Apalagi ini baru kenal. Aku sih masih bebas. Belum married. Pacar ada belum ada. Ada sih yang aku taksir. Sayangnya dia tak ada perhatian sedikitpun padaku. Yang naksir banyak. Tapi tak sreg. Taka pa-apalah menjomblo. Kalau sudah waktunya, pasti kan dating sendiri.

Pemutaran kedua, akhirnya aku iyakan ajakan mereka. Sendiri. Tanpa Nisa. Dengan syarat, mereka yang bayar. Masa sih, dari mereka bertiga, tak ada yang bisa traktoir aku nonton film. Penasaran juga. Bagaimana sih bentuk bioskop di kapal ini? Apakah seperti bioskop 21?

Mungkin aku memang sediit gaul. Walau memakai jilbab, aku masih belum bisa membatsi pergaulanku. Tapi alhamdulillah, aku masih selalu bisa menjaga amanah orantuaku, agar aku bisa menjaga diri. Setidaknya, bekal dari pesantren selama enam tahun bisa membetengi diriku.

“astagfirullah”. Ucapku dalam hati. Aku ragu untuk masuk. Filmnya belum di mulai. Baru video nyanyian yag di putar. Tapi penyanyinya seksi sekali.

“silahkan masuk”. Kata penjaga pintunya. Setelah setelah salah seorang ma situ menoyodorkan karcis 4 buah. Aku ragu. Berat rasanya kakiku melangkah.

5 menit kemudian, filmnya di putar. Awalnya, seperti film drama keluarga biasa. Tapi……

“Astagfirullah….Astagfirullah…….”. Ternyata yang di putar semi blue film. Aku merasa malu. Karena aku memakai jilbab. Masa jilbaber menonton film porno. Aku bukanlah munafik. Aku biasa nonton kok film seperti ini di rumah teman dengan VCD sewaktu SMA karena penasaran. Tapi dengan teman-teman perempuan. Tapi ini……di temani dengan cowo-cowok. Bagaimana kakalu mereka macam-macam, dan menganggapku gampnagn. Aduh, Ya Allah. Lindungilah Aku. Mataku tetap menatap kea rah layer. Aku tak ingin mereka menganggapku kaget, karena baru kali ini menonton film seperti ini. Aku ingin, memperlihatkan pada mereka bahwa hal ini biasa bagiku. Dan aku tak terpengaruh dengan adegan-adegan yang ada di layer. Filmnya memang tak mmempengaruhiku.Karena rasa khawatirku telah menguasai ragaku. Syukur deh. Filmnya selesai juga, tanpa ada kejadian yang tak kuinginkan. Thanks ya Allah.

04 februari 2005.

Sekitar jam 10.00 pagi, aku telah berada dalam damri yang menuju Purbaya. Salah seorang mas penjual roti itu yang kebetulan juga turun di Surabaya mengantarku ke sini. Penjual roti yang lainnya turun di Jakarta. Akupun menitipkan Nisa dan sekeluarga pada mas-mas itu. Ibu Nisa dan mertua Nisa begitu kehilangan. “Untung ada kamu, nak yang membantu kami di sini”. Katanya. Padahal, sesungguhnya aku yang sangat beruntung. Bertemu dengan keluarga ini, memuatku tak pernah kelaparan. Karena bekal yang ia bawa banyak bekal. Tahulah makanan di kapal. Melihatnya saja tak ada selera. Maklum. Makanan kelas ekonomi. Begitupun dengan mas-mas penjual roti. Banyak roti yang dia bawa. Mulai perjalan dari bone dengan menggunakan mobil phanter sampai di kapal kami selalu makan roti.

Sempat sih di kapal ketemu dengan ibu yang dating dari Toraja tapi asli kediri. Mau pulang kampong. Aku berharap bisa ke kediri dengan dia. Sayangnya, dia kakn di jemput oleh keluarganya.ingin aku meminta tumpangan. Tapi tak ada penawaran dari dia. Tapi tak rugi bertemu dengan dia. Karena kau bisa tahu rute perjalanku. Dan harus naik mobil apa saj ke sana, serta yang terpenting ongkos mobilnya. Ongkos mobil di sini ternyata murah banget. Jadi, aku tak perlu khawatir kehabisan ongkos untuk sampai ke pare. “Paling hanya 20.000 kamu sudah sampai di pare”. Kata wanita itu. Ketika kutanyakan tentang ongkos perjalan.

“ Jauh amat dek, ke kediri kursus bahasa inggris. Memangnya di Makassar tidak ada?” Waktu tahu tujuanku untuk kursus ke pre. o…berarti dia tidak tahu di Pare itu pusatnya kursus b. inggris. Kata temanku nih yang di bone. Dari berbagai p[enjuru, kamu akan ketemu. Mulai dari Kalimantan, sulawesi, Sumatra.

Bus belum juga berangkat. Orang-orang semakin berdesak-desakan. Penjual mnuman, makanan, apel, iktu menyesaki bus. Membuat udara pengap. Seorang laki-laki yang kira-kira berumur 30 tahunan yang nampaknya juga penumpang kapal kambuna, yang aku naiki tadi. Dia memilih duduk di sampingku ketika ia lihat kosonh. Yang lain masih sibuk mencari tempat yang kosong. Langsung aku tanyakan tujuannya

“Madiun” katanya.

“kalau aku ke pare”. Kataku. Tanpa di Tanya.

. Ternyata benar. Dia juag penumpang kapal dari Kalimantan. Akupun juga bercerita kalau aku dari sulawesi. Sendiri mau ke pare.

Alhamdulillah. Ternyata dia orangnya baik. Dia mau menolongku Sesampainya di terminal dia mencarikanku mobil menuju Pare. Tasku dia tenteng dengan tas nya sendiri yang di punggung. Aku disuruhnya menunggu dengan kembali meletkkan tasku di sampingku. Satu demi satu kernet mobil mendekatiku. Menawarkan jasa angkutannya. Denagn menyebukan nama-nama derah yang dia tuju.

“ke Pare”. Akhirnya aku menyahut juga.

“sini, dek. Pare”. Sambil mengangkat tasku. Aku kaget. Padahal aku belum bilang iya.

Akhirnya aku saling tarik-tarikan. Untung sang penolong itu dating dengan cepat. Iapun mengikuti kernetmobil tadi sambil kembali menenteng tasku sampai di ats mobil.

“Trima ksih, ya!” ucapku

“iya. Sama-sama” lalu pergi kea rah bus yang menuju Madiun, yang berada di samping busku.

Mobilnya lebih dahulu berangkat. Kulambaikan tangan dari kaca mobil. Aku berdoa. Semoga ia mendapatkan balasana atas kebaikannya. Serta kemudahan dalam meraih kesuksesan.

“Pare! Pare! Pare” terdengar kernet mobil tak henti-hentinya berteriak. Penumpangnya memang baru beberapa orang. Seorang bapak separuh baya naik dari arah pintu depan. Dan duduk di sampingku.

“ke mana, pak?” sapaku lebih dahulu dengan senyum ramah. “Mojokerto”. Jawabnya pula denga ramah. Nampaknya orang ini juga baik.

“penumpang kapal, ya!” tebaknya. “iya, pak!” “darimana?” dari sulawesi”

“bapak juga penumpang kapal tadi. Dari Bulukumba. Anakku menikah dengan orang bulukumba. Tadi baru saja bapak mengantar orang. Ketemu di kapal. Mau penataran”

“sulawesinya di mana?” balik bertanya kepadaku

“saya dari Bone, pak. Mau ke Prea”.

Satu hal yang selalu kukatakan dalam hatiku. “jangan mudah percaya dengan orang asing di kampong ini”. Tapi dari bicaranya, dan tau kalau dia juga penumpang kapal, membuatku pecaya saja kepadanya. Dengan jujur kumenceritakan kesulitanku. Kalau aku tidak punya alamat. Aku hanya tahu kalau mau ke pare tidaklah sulit. Kalau sudah ada di Pare, tinggal cari saja tempat kos-kosan. Di sana, hamper semua rumah membuka tempat kos-kosan.

“kok orangtuamu membolehkan pergi sendiri? Tidak tahu alamat lagi. Bahaya pergi sebdiri di kota besar.?” Naluri orabgtua, memang sma. Dia benar. Tapi, aku tak mungkin memberitahunya kalau aku pergi tanpa pamit. Kukatakan saja, kalau merekea tahu.

Ia tak membiarkanku terdampar . karena alamat yang kutuju belun jelas. Di kota besar maupun kecil banyak penipunya. Akhirnya aku di ajak ke rumahnya.

Diabtara ribuan orang yang ada di kota Surabaya, masih banyak kok yang hatinya bersih dan sipa menolong orang-orang yang bisa jadi sasarn empuk untuk sang penipu. Kayak aku ini.

“nama bapak Pak Rahmat> tapi panggil sja pak mat” katany memperkenalkan diri. Setelah aku mengiyakan tuk ikut ke rumahnya.

“Saya yanti pak.”

Sebenarnya, waktu pak mat mengajakku ke rumahnya, hatiku berkecamuk antara ya dan tidak. Bukankan di kota besar, susah membedakan antara yang ikhlas dengan yang penipu. Semuanya menggunakan kata-kata manis.

“ya Allah. Aku tak tahu. Pak mat ini baru kukenal. Berikanlah hamba petunjukmu”. Doaku dalam hati. Kuputuskan tuk mengikutinya. Setidaknya, kan menambah pengalamnku. Apayang terjadi, kta lihat saja nanti.

Turun dari bus, kami menyebrang jalan. “kalau mau ke rumah bapak lagi nantinya, turun saja di sini. Dekat perusahaan sinar dunia” menunjuk kea rah kiri. Searah dengan jalannya bus yang kami tumpangi tadi. Aku hanya mengikuti arah tangannya. “iya, pak” padahal aku tak tahu yang mana perusahaan yang di maksud. Mungkin tempatnya bukan di pinggirjalan.

“Tunggu ya. Bapak nelfon anak bapak dulu suru jemput”. Kirain mau makan. Ternyata di warung pinggir jalan itu ada wartelnya. Aku tetap di luar. Sambil memperhatikan segala tanda-tanda yang bisa mengingatkanku tentang sesutau.

“kita naik becak saja. Anakku lagi pergi”. Kuikuti saja langkahnya. Menyusuri jalan setapak. Kemudiasebuah jembatan yang terbuat dari kayu menghubungkan dengan jalan raylagi.kami menyebranginya.Sampai di jalan raya, menyebrang jalan lagi. Seorang tukang becak, yang nampaknya sudah kenal baik dengan Pak mat. Mereka berbicara dalam bahasa jawa. Aku tak mengerti. Tapi ada sih satu dua kata yang kutahu maknanya. Sewaktu aku kuliah di Stain Palopo tingkat pertama, teman-temanku kebanyakan orang Jawa. Aku hany setahun kuliah di sini. Aku minta pindah saat naik semester 2. diluluskan oleh ayahku. Semua barang-barangku telah kuboyong ke makassar. Sudah ada persetujuan dari fakultas. Sayangny aku lambat dating. Perkuliahan sudah berjalan cukup lama. Jadi aku di suruh kembali dan masuk pada semester 3. Aku di marahi oleh ayhku. Karena lambannya caraku mengurus. Padahal aku sudah berusaha semampuku. Bahkan hamper menangis karena di pimpong kiri kanan. Belum lagi, beasiswa yang kuterima telah kualihkan pada orang lain, karena aku sudah minta surat pindah. Kok apes banget ya….Mana malu lagi. Sudah acara perpisahan segala dengan teman-teman kuliahku dari jurusan syariah.dan teman-teman kos. Tapi tak ada jalan lain. Kecuali kembali memboyong barang-barangku kembali ke palopo.

“ayo!” ajak pak Mat naik becak. Tukang becak itu nampaknya heran dengan kebersamaanku dengan pak mat. Pak Matpun menjelaskannya dengan bahasa jawa.

Aku ketakutan. Becak melewati perkebunan tebu yang luas. Tak ada perumahan yang terlihat. Hanya satu dua kendaraan yang lalu lalang. Namun, kekhawatiranku langsung sirna. Kala memasuki sebuah perkampungan. Dia di sambut dengan senyum ramah dari para penduduk yang melihatnya. Setelah melewati beberapa rumah, becak memasuki sebuah halaman rumah. Kumenebak. Ini rumahnya. Rumah permanent yang terbuat dari beton. Di sampingnya berdiri sebuah musholla. Ternyata Allah telah mengirimkan orang yang shaleh, seperti yang kuminta dalam doa-doaku setiap sholat lima waktu. Satu hal yang selalu menjadi tujuanku kalau aku kesasar, yaitu rumahAllah. Masjid. Aku yakin. Orang-orang yang ke sini pasti akan siap menolongku di tempat asing ini. Itu juga yang kukatakan pada Nisa, saat khawatir, kalau aku kesasar. Tapi sampai detik ini. Tak ada masalah yang berarti kutemui.

Dengan mudah, aku bisa cepat akrab dengan keluarga pak Mat. Istri, anaknya yang 2 orang yang semuanya cowok yang salah satunya sudah menikah. Satunya lagi kuliah di Surabaya. Aku tidur dengan yuni, keponakan pak Mat yang kayaknya masih SMA.

“Masih sekolah?” Saat menjelang tidur.

“nggak lagi. Aku kerja di sinar dunia”.

Banyak hal yang dia tanyakan.

“aku sudah tamat SMA. Aku sudah kuliah semester 7. bahkan sudah KKN” nampaknya dia sedikit heran. Dia mengiraku masih sma. Mungkin karena perwakanku yang kurus dan pendek. Hanya 150cm tinggiku.

“Tidur, yuk” ajaknya. Akupun memejamkan mata. Kembali terbentang semuanya. Saat aku mulai pamit dari orangtuaku di mangkutana, sampai akhirnya ke rumah ini. Rumha pak mat. Sebuah lagu dangdut mengalun dari tadi kamar anak pak Mat yang berada tepat di samping kamar yuni masih terdengar dari sebuah TV swasta. Mungkin dia belum tidur juga.

esoknya, aku menelfon Rusli. Tapi tak nyambung-nyambung. Aku jadi gelisah. Pak Mat pun tak mengisinkanku pergi, kalau belum ada kejelasan.

Aku coba sms. “alamatku di mana? Aku mau ke pare. Sekarang aku di mojokerto.”Tapi, tak ada balasan juga. Akhirnya, hp itu kukembalika pada si empunya. Ke anaknya pak mat.

Sorenya, baru ada balasan. “jl nuri asrama lagaligo.” Hatiku langsung plong. Karena alamat jelas sudah ada di tangan.

“kalau alamatnya nggak ketemu, balik saja ke sini. Kamu sudah catat kan nomor telfon rumah bapak?” “ya pak”.

Pak Mat terus-terusan memberi nasehat, dan juga memberitahu tanda-tanda yang kami lewati saai ia mengantarku menunggu mobil kea rah Pare. …..(bersambung.tunggu aja kelanjutannya).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar