tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Kamis, 09 Juli 2009

istri cicilan

ISTRI CICILAN

mangkutana, 2006

Hari ini pengumuman. Aku sih tak seratus persen yakin akan lulus di penerimaan cpns di tempatku yang baru ini. Jauh di seberang lautan, di sudut pulau sulawesi selatan, di tanah luwu.

Aku kira, persaingan di jawa saja yang begitu banyak dan ketat. Makanya, aku menerima tawaran Ambo’ Tuo tuk mengadu nasib di kampungnya. Di luwu timur. Perkiraanku salah. Di sinipun membludak. Tapi tak apa-apalah. Aku sudah terlanjur ke sini dengan restu dari ayah dan ibuku.

Kami akan mendoakanmu. Kami akan sholat hajat untuk kesuksesan kamu di kampung orang”. Kata ibuku. “Tapi hati-hati lo dengan cewek-ceweknya”. Ayahku ikut memberi nasehat sambil tersenyum. Aku tak paham maksud ayahku. “Memangnya kenapa dengan ceweknya, pak?. “Mahal!”. Budeku langsung menjawab.

Ya….. Nanti aja kita liat. Lagian, Sekarang sudah berubah, pak. Jaman semakin modern. Asal suka sama suka, pasti di restui. Ya kan? Tuh si Rahwana eh. Siapa ya….” “Sarwana” kata budeku membenarkan. “oh iya. Sarwana. Ia menikah dengan dengan anak keraton. Yang penting ada uang. Pasti beres.” “Iya kalau ada uang. Kamu saja belum dapat kerja”. Semua tertawa. Termasuk aku.

***

Aku selalu teringat sama keluargaku yang di kediri. Aku rindu dengan mereka. Walaupun sudah sering pisah, tapi tak pernah sejauh ini. Minimal sekali sebulan aku pulang melepas kerinduan.

Mereka benar. Budayanya benar-benar berbeda. Dan orang-orang jawapun yang sudah tinggal di sini sudah mengikuti budaya native di sini. Banyak hal baru yang kudapatkan.

Alhamdulillah. Aku lulus. Ambo’ Tuo juga. Tidak sia-sia aku belajar dan belajar tentang rumus matematika yang membuatku pusing tujuh keliling.

Luwu timur kan kabupaten baru. Jadi masih banyak membutuhkan tenaga guru. Aku yang lulusan Bahasa Inggris, banyak saingan memang. Tapi banyak juga yang di butuhkan. Dan untunglah aku salah satu yang beruntung ini. Ini berkat doaku setiap malam dalam sholat tahajjud dan sholat hajatku. Juga doa-doa dari orang terdekatku. Terutama ibuku. Yang bahkan berpuasa senin-kamis sejak kepergianku ke tanah luwu ini.

Aku langsung menelfon keluargaku. “Bu!.Aku lulus.” Kataku dengan suara bergetar. Rasa haru langsung menyeruak. Ibuku langsung memanggil ayahku dengan bahagianya. “Anak kita lulus”. Katanya padaayahku. “Ha!” hanya itu yang kudengar dari ayah. Nampak tak percaya. Bude Lili terdengar juga suaranya mengucap syukur, jelas terdengar dari hp ibuku yang di speaker. Kami bertiga bercakap-cakap. “Kamu sehat-sehat saja kan, nak?” Tanya ibuku. “Sudah dapat jodoh belum?” Budeku nimbrung. “Kamu baik-baik ya di kampung orang”. mereka bergantian. Aku hanya mengiyakan.

Aku memang anak satu-satunya, tapi tak cengeng. Mungkin karena didikan orangtuaku yang memperlakukanku seperti anak-anak yang lain. Tak terlalu di manja.

Ayahku yang sehari harinya berprofesi sebagai guru sd juga tak bisa memanjakanku dengan permainan-permainan yang mewah sejak kecil. Kehidupan keluargaku sekarang memang sudah lebih baik. Mamaku tak hanya tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga. Sejak mama dan budeku membuka usaha penjualan kue yang di titip di toko-toko, rumah kami sudah bisa di renovasi menjadi rumah permanen, dan aku bisa kuliah sampai perguruan tinggi tanpa mengalami hambatan keuangan.

Hari ini aku harus ke malili menyerahkan berkas berkasku di dinas bersama Ambo’ Tuo dengan motor veganya. Aku sudah siap. Aku ke kamar Ambo’ Tuo. “Tunggu” katanya.Akupun lalu ke ruang tamu duduk menunggunya. Minum tehku yang belum habis dan pisang goreng yang di suguhkan ibunya Ambo’ Tuo yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku tak sekamar dengan nya. Aku menguasai 1 kamar sendiri. Jadi seperti rumah sendiri.

Sudah mau berangkat?” Ibu Ambo’ Tuo mendatangiku. Ia tadi datang dari arah dapur. “Iye!”1. Jawabku. Kata Ambo’ Tuo, iye adalah kata pengganti iya untuk yang sopan. Kalau bilang iyo, itu kasar. Memang beda. Karena iyo dalam bahasa jawa adalah jawaban yang sopan. Makanya, aku selalu bertanya banyak hal pada Ambo’ Tuo.

Namanya yang terdengar unik di telingaku, ternyata ada sejarahnya juga. Ambo artinya bapak, sedang tuo artinya hidup. Dia mempunyai kakak 2. dan semuanya meninggal saat masih kecil. Makanya, ia diberi nama ambo’ tuo, biar panjang umur. Ambo’ menandakan laki-laki. Kalau perempuan mengugunakan indo’. Seperti tetangganya. Namanya indo’ tuo.

Anak bugis ini , menjadi sahabatku ketika sama-sama kursus di pare kediri. Walaupun aku anak Bahasa Inggris, tapi aku tetap kursus untuk memperlancar speakingku. Karena di kampus, aku merasa belum maksimal. Pare, di desa tulungrejo memang terkenal sebagai tempat kursus bagi para pecinta Bahasa Inggris di berbagai daerah. Dari sumatera, sulawesi, kalimantan, kita bisa temukan. Aku ketemu dia sewaktu gabung di asrama manggala. Teman sekamarku. Hobbi kami yang sama, berenang di Bramasta setiap minggu membuat kami tambah akrab. Dia juga sering kuajak ke rumahku. Mereka juga akrab dengan ortuku. Pintar mengambil hati orang sih. Bicara apapun, pasti nyambung. Itulah sebabnya, orangtuaku tak merasa khawatir ketika ia mengajakku ke kampungnya. Apalagi dia sudah mendapatkan sekolah buatku honor untuk sementara sampai menunggu pendaftaran di sebuah sma yang baru di buka tahun lalu.

Tuo keluar kamar sambil bersiul-siul, dan melihatku telah siap berangkat.. “Ma’! “ Panggilnya dari depan pintu kamarnya. “Aga2?” Sahut ibunya dari dapur. Iapun masuk. Tak berapa lama iapun keluar bersama dengan ibunya. Bapaknya dari tadi ke kebun. Setiap pagi ia berangkat. Ia akan pulang menjelang duhur tuk sholat berjamaah di masjid yang tepat berdampingan dengan rumah ini.

Dengan kebun coklat yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat di sini, membuat masyarakat di sini lumayan makmur. Rata-rata punya motor. Dan hampir semua masyarakatnya sudah naik haji. Kehidupan Tuo pun cukup lumayan. Karena rumahnya yang bertingkat dengan sebuah mobil panther. Ayahnya menyuruhnya bawa mobil ke malili. Tapi dia tidak mau. Perjalanan ke malili dengan jalan berkelok-kelok, rawan kecelakaan.

Bensinnya tinggak sedikit”. Kataku pada Tuo yang aku bonceng. “Nanti di pertamina saja kita isi”. Biasanya kalau pagi pertamina buka.. Bensin sekarang lagi langka.

Sampai di pertamina, kami tak jadi masuk. Antriannya panjang. Aku berbelok ke arah penjual eceran yang berada di sampin kiri jalan. “Berapa?” “7 ribu”. “2 liter”. Kata Tuo. Tuo mengeluarkan uang 50.000 ribu. Lalu memberikannya pada penjual. Penjualnya masuk mengambil kembalian.

Eh!”. Merogoh dan mengambil uang 100.000 ribu dari tasnya. “Ini gaji kamu dari petik coklat”. Kuterima dengan senyum lebar. “Thanks ya”.

3 bulan aku di sini, aku memang tak pernah minta uang. Gajiku di sekolah kemarin aku terima. Kaget juga ternyata gajinya 1 juta 500rb selama 3 bulan. Aku langsung belikan kain tuk buat baju dinas keki dan linmas. Tinggal aku saja yang masih memakai baju biasa mengajar. Tapi, aku kan memang masih baru. Aku langsung beli 3 pasang untuk keki. Persiapan untuk prajabatan nanti.

***

Aku di tempatkan di SMAN 1 burau. Lumayan jauh dari rumah Tuo. Akupun akhirnya tinggal di perumahan sekolah. Sedangkan Tuo tetap ditempatkan di sma 1 tomoni, tempatnya mengabdi dulu.

Ribet juga tinggal sendiri. Harus masak sendiri. Untungnya sabtu aku tidak ngajar. Jadi bisa berlibur ke rumah Tuo di mangkutana. Sekalian Bantu-bantu pak Latang di kebunnya petik coklat, ayah Tuo. Nanti, kalau punya uang, aku juga berencana beli kebun coklat. Sebagai investasi dan penghasilan tambahan. Kalau hidup sendiri, gajiku cukup. Tapi kalau sudah berkeluarga? Tentunya banyak juga kebutuhan. Rumah, pendidikan untuk anak? Pokoknya banyak.

Ngomong-ngomong soal berkeluarga, sampai sekarang, aku kok belum menemukan idaman hatiku. Ibuku sering kali bertanya tentang perkawinan. “Biar ada yang nyuci dan masak buat kamu”. Katanya. Iya. Tapi siapa? Siapa yang mau sama aku? Tampangku pas-pasan. Dan aku juga tak berani naksir gadis-gadis bugis. Mahal.

Ambo tang, sepupu Tuo, bulan lalu menikah. Uang naiknya 15 juta. Aku benar-benar kaget. “itu belum apa-apa. Biasanya juga 20 juta. Tergantung dari status.” Tuo menyadari keterkejutanku. Tapi sebandinglah dengan penghasilan orang di sini. Karena kalau lagi musim coklat, katanya biasa dapat 10 sampai 20 juta sekali petik. Musim kan lamanya sekitar 5 bulan. Sedang sebulan bisa petik coklat sampai 2 kali. Habis musim, buahnya juga tidak langsung habis. Masih ada satu karung dua karung. Kalau aku?....

Ada pelatihan di malili. Beberapa guru di utus. Dengan menggunakan mobil kepala Sekolah, kami berangkat. “Tuo!” panggilku. ternyata Tuo juga ada. Dia lagi bercakap-cakap dengan seorang gadis, duduk di sebuah bangku panjang. Putih dan cantik. Akupun diperkenalkan padanya. “Darmi”. Dia juga sudah PNS. Teman kuliah Tuo di makassar. Tak disangka, mereka ketemu di sini. Tahun ini juga dia lulus cpns. Di tempatkan di sma mangkutana.

Istirahat makan, obrolan pun dilanjutkan lagi. “sudah berapa anaknya?” Tanya Tuo ke Darmi. “ boro-boro anak. Bapaknya saja belum ada”. Katanya sambil tersenyum. “Berarti kita senasib dong”. Kata Tuo. “eh. Mau dikemanain si Rani? Awas ya! Tak laporin nanti”. Kataku buka rahasia. “Maksud aku, kamunya yang senasib. Sama-sama jomblo. Ya kan???”. Aku jadi salah tingkah. Darmi juga langsung melirik kepadaku dengan sebuah hadiah senyuman.. Apa dia juga merasakan apa yang kurasakan? Tiba-tiba, hatiku bergetar melihat sorot matanya. Aku jadi salah tingkah.

***

“kita ke rumah bu Darmi, yuk?” ajak Tuo. “nggak ke rumah Rani?”. Tanyaku heran. Tapi senang.

Kayaknya aku sudah kepicut. Tapi, kenapa juga Tuo mengajakku ke sana? Apa dia mau selingkuh? Malam minggu harusnya ke rumah pacar. Bukan ke rumah wanita lain. “dia lagi ke Bone. Ada acara pernikahan keluarganya. Kok kamu tidak senang sih? Bukannya kamu naksir sama dia?”. Kok ketahuan? Padahal aku tak pernah sekalipun ngomong tentang darmi, sejak pertemuan kami di Malili. “eh. Jangan diam saja. Nggak usah bohong. Tapi, aku yakin. Dia juga naksir kamu. Kalau kamu mau serius, aku bisa urus”.

yakin benget sih kamu?” senang juga sih, kalu ia benar-benar suka sama aku. Berarti aku tak bertepuk sebelah tangan. “mau bukti nggak?” tanpa menunggu jawaban, ia langsung menelfon

assalamu alaikum, darmi, ya?”

walaikum salam. Tumben nih nelfon. Lagi di mana nih?” di rumah. Rencananya mau jalan-jalan ke rumahta kalau nggak keberatan?”

Sorry sekali. Bukannya keberatan, tapi aku lagi di rumah om di soroako. Lain kali aja yach?” “Untung belum meluncur.” Kecewa juga. Tidak jadi ketemu.

darmi. Ada salam nih dari temanku yang kemarin”. Aku langsung kaget. Mau mematikan hpnya. Dia telah lebih dahulu memegang tanganku. Tapi sebenarnya, aku juga penasaran banget, mendengar jawaban dari sana. “jangan main-main ah!.” “Bener. Aku serius”. “ok. Kalau serius, langsung saja ketemu orangtuaku. Soalnya aku sudah trauma. Aku sekarang tidak mau main –main lagi. Aku cari yang orangnya serius.”. aku tercekat. Oh Tuhan. Apakah aku mimpi?

yes!!” langsung memelukku setelah menutup telfonnya. “dengar sendirikan. “berani nggak kamu lamar dia?”.

Bagi orang bugis, masih banyak yang menganggap bahwa orang jawa tidak sepadan dengan sukunya. Dalam bahasa bugis, kata jawa it artinya di bawah. Rendah. Makanya, orang bugis, jarang mau menikahkan anaknya dengan orang Jawa. Semoga orang tua Darmi tak seperti itu. Padahal, klaau mau di piker-pikir di Indonesia, yang top adalah orang Jawa. Semua presiden orang Jawa. Menterinya rata-rata orang Jawa. Jadi……

Pengalaman pahit, karena di tinggal kawin oleh calon suaminya setahun yang lalu, membuat keluarga Darmi bisa menerimaku. Ambo’ Tuo dan keluarganya yang menjadi jaminan bahwa aku benar-benar orang yang bersih dan tidak neko-neko, serta dari keturunan yang baik. Dan itu memang perlu. Dalam mencari menantu perlu di cari bibit bebet dan bobotnya.

Senang rasanya, akhirnya bisa menemukan calon istri yang kudambakan. Tapi aku belum memberitahu keluarga di jawa. Karena ini baru proses. Aku memang belum naik melamar. Belum ada lampu hijau dari darmi. Masih dalam tahap lobi-lobi dengan keluaga lewat telfon. aKupun juga begitu. Hanya sekali itu aku ketemu dengannya. Komunikasiku selama ini juga hanya lewat telfon dan sms.

“ayahku minta, uang naiknya 15 juta”. Aku terhenyak menatap sms dari Darmi. Apa yang mesti kuperbuat?. Ini memang keputusan terakhir yang aku tunggu.

Kuhubungi orangtuaku. Ia sangat senang dengan berita yang kusampaikan. Begitupun dengan diriku. Tapi, Kaget dengan uang naiknya. “nak. Fikirkan baik-baik dulu. Atau minta penawaran. Karena kita juga mau adakan pesta di sini”.

Aku tak mau membahas soal ini sama Ambo’ Tuo. Aku harus menyelesaikannya sendiri. “Darmi, aku baru mengenalmu. Tapi aku telah merasa kalau kamulah pasangan hidupku yang diberika Tuhan padaku. Kuncinya ada pada kamu. Aku hanyala seorang perantau yang tak memiliki apa-apa. Apapun yang aku miliki akan kuberikan padamu. Untuk mendapatkan cinta mu, aku sebenarnya malu untuk melakukan penawaran. Tapi sayangnya, aku hanya punya cinta. Keluargaku hanya mapu 5 juta. Jadi, Tolong sampaikan pada keluargamu, kalau aku diberi keringanan. Aku tak mampu bicara langsung padanya. Aku tak tahu harus memulianya dari mana….”

Seminggu sudah. Tak ada kabar. Sms ataupun telfon. Aku menunggu dengan gelisah. Apa mungkin penawaranku tidak di terima? Dalam setiap sholat kumohonkan, kalau memang ia terbaik bagiku, maka mudahkanlah jalanku tuk bisa meraihnya dan menjadikannya sebagai pendamping hidupku selamanya.

sebagai anak, aku tetap menghormati orangtuaku, apapun keputusannya. orangtuaku telah memberi keringanan menjadi 13 juta. Mungkin, ini memang adalah adat yang sulit di terima oleh suku lain. tapi ini juga adalah salah satu siri’3 bagi kami orang bugis jika uang naiknya hanya sedikit. Aku tahu, ini masih sulit untuk diterima. Tapi bukan berarti tak ada jalan agar kita bisa bersama. Saya ada jalan keluarnya. Dan nantinya, kita berdua yang akan menanggungnya. Untuk lebih jelasnya, kita ketemu besok di bank jam 2 sehabis ngajar.

***

“Pa? nabila mana?” tadi memang lagi main di depan rumah. tapi entah ke mana perginya. “paling juga ke rumah sebelah main”. kataku. istrikupun tak lagi berteriak. Ia melanjutkan mengambil cucian di samping rumah. “pak. Sudah bayar cicilan motor?” teriak Darmi dari luar. oh iya. Ini hari terakhir batas pembayarannya. Aku bergegas mengambil motor dan pergi membayar cicilan.

Selama menikah, aku memang tak pernah berhenti yang namanya menyicil karena memang kuawali dengan cicilan. Rumahku, tahun lalu lunas cicilannya. Tapi biasalah bagi pegawai negeri. Apalagi aku dan istriku sama sama pegawai. Jadi saling membantu. Tapi aku tak pernah sekalipun menyangka , kalau istripun harus di cicil. Istriku istri cicilan. Ini sudah jadi rahasaia umum. Aku memang tak punya uang 13 juta. Tapi aku mengambil kredit di bank demi uang naik istriku. Tapi aku tak pernah menyesal.

Menurut falsafah orang bugis, sesuatu yang mahal, akan kita jaga dan kita rawat baik-baik. Karena sulit mendapatkannya. Begitupun dengan wanita bugis. Harganyapun harus di patok mahal. Biar setelah mendapatkannya, kita tidak mudah mencampakkannya. Satu hal lagi, tidak mudah kawin lagi. Satu saja, susahnya minta ampun dicarikan uang. Apalagi kalau mau beli dua?” Aku tertawa mendengar Cerita istriku, ketika kutanyakan pasca pernikahanku, kenapa wanita bugis itu mahal-mahal.

1 ya

2 apa

3 Malu/harga diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar