tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Kamis, 09 Juli 2009

hampa 2

Hampa 2



Apa kamu tidak tahu? Aku benar benar tidak tahu.”

Masa sih etta1mu belum kasih tahu lamaran itu?”

Belum.Mamanya yang mau sekali menjodohkanmu dengannya.”

Aku tahu. Tidak mungkin dia sendiri yang mau. Dia kan sukanya sama sepupuku. Andi2 Lili. Aku salah sangka.

Sudah lama aku tahu gossip perjodohan itu dari keluargaku. Sejak aku masih sma. Tapi tak jelas. Karena kayaknya tak ada kesepakatan antara orangtuaku dan orangtuanya. Orangtuakupun tak pernah menanyakan hal ini kepadaku. Kalau perjodohan itu ternyata benar akan direalisasikan, Di saat aku lagi mencari pendamping hidup di umurku yang ke 27. Di mana orang orang di sekitarku juga tak pernah jera tuk menanyakan "kapan kamu nikah?" Pertanyaan2 seperti itu selalu kuhindari. yang membuatku merasa minder. Merasa tak ada yang suka, merasa tak laku. Seperti nyanyian Wali. Yang benar-benar mengena di hatiku. “bapak-bapak ibu-ibu siapa yang punya anak bilang aku, aku yang sedang malu pada teman-temanku karena tak laku-laku.”

Sekarang, lamaran itu telah ada. Senang? Bahagia? Entahlah. Aku bingung. Jodoh memang telah kudambakan. Setiap sholat kubaca surah yusuf, yang di ajarkan oleh temanku, biar bisa dapat jodoh. Tapi, kalau harus menikah dengannya? Tak mungkin. Aku telah bersumpah untuk tidak akan menikah dengannya. Aku terlanjur dendam. Terlanjur malu. Walau kutahu, sumpah masih bisa di luruhkan dengan berpuasa, tapi aku tetap tak mau. Aku masih sakit hati. Terhina.

***

3 tahun yang lalu.

Ira, sepupuku ada janji dengan pacarnya syarif, keponakan jauhku yang sudah bekerja sebagai sekdes, mereka akan ke danau matano minggu depan. Syarif akan mencarter mobil.Aku pastinya ikut. Tapi, aku tak punya pasangan. Masa aku pergi sendiri. Mau ngajak pacar, tapi tak punya. Bukannya tak ada yang suka. Ada juga sih yang suka. Tapi tak masuk dalam daftar hatiku. Ada yang kusuka. Eh, da punya gebetan. Serba salah. Aku tiba-tiba ingat dengan andi Muhlis, yang pernah kudengar di jodoh-jodohkan keluarganya denganku. Selama ini, aku memang tak begitu akrab. Dan juga malas berakrab-akrab. Karena aku tak suka di jodoh-jodohkan dengannya. Walau dia punya tampang yang lumayan, dengan kulit yang putih. Aku merasa, kalau dia suka di jodohkan dengan aku. Aku berinisiatif tuk mengajaknya pergi.

Mungkin dia memang jodohku. Karena sampai saat ini, aku tidak bisa menemukan pasangan yang sreg di hati. Ira juga mendukungku. Membuatku bisa menerimanya. Namanya pun mulai tercatat dalam hatiku.

Tak pernah sekalipun nomor hp nya ada dalam hpku. Untung syarif punya nomornya. Awalnya, aku cm. Siapa tahu dia penasaran dan menelfonku. Berkali kali ku cm, tak tergoda juga. Dengan sedikit keberanian, aku akhirnya menelfonnya. Aku yakin sekali. Kalau dia pasti mau. Selama ini aku mungkin terlalu cuek terhadapnya. Sehingga iapun segan.

Ini siapa?”

Saya. andi rani. Ini andi muhlis ya.” “Oh kita.” “Iya.” “Ada apa?”

E…..”Bagaimana ya cara menjelaskannya. “Begini. Andi syarifkan mau jalan-jalan ke danau matano sama Ira. Saya di ajak. Tapi tak punya teman. Mau ikut tidak.” Selesai juga penjelasanku. Menunggu jawabannya. Pasti ia mau.

Biar dia saja yang pergi berdua. Tidak usah kita ikut. Mengganggu saja nanti.” Pengertian banget sih…..

Tapi, tidak mau pergi ira, kalau saya tidak ikut.” Berusaha membujuknya.

O. Tapi, saya mau ke makassar. Nanti saya liat ya.” “Ok.”

Nadanya bagaimana ya…..Nampaknya dia tak berminat.

Esoknya aku telfon lagi. Kalau aku tak jadi pergi. “Ia tidak perlu kita pergi. Hanya mengganggu saja.” Jawabannya sangat mengecewakan.

Irapun ke soroako. Aku tak pergi. Penolakan itu membuat semangatku jalan jalan juga kendor. Aku kira dia akan senang dengan ajakanku. Kenapa perkiraanku selalu salah?

***

Bisa antar ka ke toko sebentar?” Tanyaku pada a.Muhlis yang lagi duduk di depan rumah tetanggaku, berbicara pada tuan rumah. Hanya nongkrong saja kok. Akhir akhir ini, ia memang sering nongkrong di sana. Membuatku lagi-lagi kegeeran. Dia pasti ingin selalu melihatku.

Saya mau juga pergi.” Penolakan lagi. Kutelan lagi kepahitan. Tapi, tetap kutebalkan mukaku. “Sebentar saja. Biar a.Lili yang antar.” Ia mau. Aku langsung memanggil a.Lili yang lagi mengetik di rumahku.

Melihat lili datang, senyum manispun mencuat untuknya. “Bukan untuk aku.” Akupun pergi dengan beribu pertanyaan dan rasa kecewa. Sebenarnya, tadi cuma alasan saja tuk membeli paku di toko biar bisa minta antar ke dia. Biar bisa akrab.

Mungkinkah dia suka pada lili? Ah. Tidak mungkin. Lagian, lili sudah punya pacar kok seorang polisi. Tapi, belum pernah di perkenalkan pada orangtuanya. Takut dan ragu. Ibunya terlalu feodalis. Ia maunya andi. Apalagi, ia anak terakhir perempuan. Kakaknya a.Nina yang menikah dengan rahman, selalu ia sesali. Ia tak tahu, kalau rahman ternyata orang jawa. Di kiranya orang bugis. Ini pernikahan yang kedua, jadi tak terlalu di usut oleh ibunya. Yang penting bugis. Suami pertamanya adalah andi. Tapi tak langgeng. Karena perjodohan itu memang tak di inginkannya.

Lili baru saja tamat dari sekolah keperawatan. Karena masih nganggur, ia pun selalu ke rumah tuk belajar mengetik. Komputer yang aku taruh di dekat ruang tamu, karena aku juga terkadang menerima pengetikan. Muhlis juga sering datang tuk mengetik tugasnya. Aku merasa mulai akrab dan bisa tertawa dengan canda-canda.

Mana lili?” Muhlis datang lagi mau mengetik dan menanyakan lili. Ada di dalam. Ada rasa aneh menyelinap. Kenapa dia menanyakan lili? Kuhapus kecurigaanku. Tak mungkin. Aku saja yang terlalu perasa. Tapi, perasaan itu terkadang benar. Saat lagi duduk di depan rumah dengan lili, "muhlis pernah menyatakan cinta sama aku" hatiku tiba-tiba tertusuk. Kaget. Malu. Ternyata feelingku benar. Perih. Tapi, ini biasa. Apa Lili tahu kalau aku juga suka? Oh! Jangan sampai ia tahu. Aku malu banget……

"bagus dong." kucoba tuk tersenyum dan memberikan support.

"malah mau melamar. Tapi aku tidak mau. Ada pacarku."

Sejak tahu kalau ada misunderstanding, akupun bersumpah dalam hatiku, kalau ia tak akan pernah kujadikan impian lagi. Apalagi menjadi suami.

***

Pemberitahuan itu akhirnya kudengar langsung dari orangtuaku. Ayahku. Ternyata belum ada keputusan. Ayahku takkan berani mengambil keputusan. Pernikahan kakak keduaku hasyim dengan kakak lili yang menikah dengan orang jawa itu, telah membuat ayahku sadar. Karena perjodohan itu membuat segalanya berantakan. Hubungan ayahku dengan saudaranya sendiri menjadi kacau. Dan aku, adalah anak yang pemberontak. Melawan dengan diam-diam. Dan berkali-kali kulanggar larangan ayahku. Mau ke kediri kursus, dilarang. Akhirnya aku melarikan diri. Mau liburan ke samarinda, di larang. Aku kembali kabur. Kali ini aku bilang tidak, berarti tidak. Karena aku cukup sekali saja mengatakannya.

"kenapa kamu tidak mau?"

"dia sukanya sama lili etta..Tapi lili tidak mau karena sudah punya pacar. Mana pernah dia melirikku, ketika rumah kita masih ada tulisan, rumah ini dalam pengawasan bank bri. Sekarang, setelah ganti rugi itu keluar, dan kita jadi kaya, baru dia ada minat sama saya.” Aku begitu menggebu gebu mengungkapkan alasanku. Dendam itu bertambah.

Ayahku hanya mendesah. Ini juga hal yang menyulitkan. Karena ayah muhlis adalah sahabat dekatnya.

Umurmu sekarang sudah cukup untuk menikah. Kalau kamu menolak, dengan siapa kamu menikah? Sudah lama ayah menunggu ada orang yang melamar kamu. Ayah sekarang sudah tua. Saya mau melihat kamu menikah.”

Apa kamu punya pilihan? Supaya saya juga punya alasan tuk menolak.”

Pilihan? Siapa yang harus kupilih? Memilih siapa? Memangnya aku punya pacar? Teman ngajarku yang orang bugis cuma pak nandar. Orang sengkang yang masuk setahun yang lalu di tempatku ngajar. Tak banyak yang aku tahu tentang dia. Aku hanya tahu, kalau orangtuanya telah meninggal dan di rawat oleh tantenya sejak kecil. Orangnya sabar, dan penurut. Bahkan jadi tangan kanan kepala sekolah. Dia Guru biologi Istri bu kepsek yang juga mengajar di sekolahku yang jabatannya sebagai kurikulum menunjukku sebagai guru tik. Pak rio akan pindah minggu depan karena di mutasi. Tak ada penggantinya. Guru b.Inggris juga sudah empat. Tak jadi masalah aku jadi guru tik. Malah terasa ringan. Tak perlu belajar. Kalau ngajar word sama excel atau corel sih aku tahu.

"kamu ambil tik sama pak .nandar.Sama sama bujangan. Siapa tahu bisa cocok." aku cuma tersenyum mendengar ucapan bu pia saat itu.

Apa aku mesti memilih dia? Diantara semuanya, hanya dia yang bisa masuk kriteria. Sama sama orang bugis. Tapi, apa dia suka aku? Selama ini aku selalu salah!

Pertama dia datang, aku merasa dia pdkt sama aku. Saat ujian, kalau aku mengawas sendirian, dia selalu datang menemani. Aku paling hanya senyum saja melihatnya. Kalau aku punya teman mengawas, dia akan tetap tinggal dan ngobrol dengan teman ngawasku.

Entah mengapa? Beberapa lama kemudian, aku merasa dia aneh. Kalau aku berpapasan di koridor, dia selalu berpaling. Sehingga senyum yang ingin kusunggingkan urung kukeluarkan. Aku jadi bingung sendiri. Apa aku punya salah? Tak mungkin. Bicara saja ke dia jarang. Malas juga. Aku terkadang kecele. Bertanya kepadanya tapi tak di jawab. Entah tak di dengar atau sengaja tak di dengar. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Akhirnya, akupun diam. Kalau bukan dia yang bertanya, aku tak berbicara kepadanya. Walau aku tinggal berdua di kantor, aku tetap sibuk memeriksa tanpa mempedulikannya. Padahal kalau yang lain, aku pasti sudah ngobrol abis. Aku malas aja bicara tapi di cuekin. Lagian, aku juga tak punya kepentingan sama dia. Jadi, ngobrol sama dia tak ada gunanya.

Sekarang, memang sudah agak baikan. Sudah mulai membalas senyumku. Apalagi, sejak aku jadi guru tik. Otomatis, aku jadi sering berhubungan dengan dia. Karena kunci lab yang di pegang oleh dia. Dan juga, aku belum begitu tahu dengan kondisi lab.

Awalnya, aku bingung. Kabel telah kucolokkan. Tapi komputernya tidak bisa juga nyala. Untung dia datang. Ternyata ada stavol besar di sudut belakang ruangan yang menjadi pusat aliran listrik dalam ruangan itu. Proyektor yang belum pernah aku gunakanpun diajarkan olehnya. Setelah aku tak lagi punya masalah di lab, dia baru meninggalkanku bersama dengan para siswa. Setelah selesai, aku kembali mengunci lab dan menaruh kunci di lacinya.

Kayaknya, ada kabel yang lupa aku cabut tadi.” Pikirku saat lagi baca buku di perpus.

"sudah tidak mengajar tik lagi?"

iya.” Di pintu perpus aku bertemu pak nandar. Baru selesai sholat duhur dan mau masuk lagi mengajar di kelas sore.

"itu pintu yang di dalam di putar dua kali. Tidak terkunci itu kalau hanya satu kali.”

Iya sorry. Soalnya guru baru. He…he… Eh. Tadi kayaknya ada kabel yang lupa aku cabut.” “Iya. Sudah kubuka semua. Kipasnya juga tidak kita matikan.” “Oh iya.” Senyum senyum sendiri menyadari kesalahanku. “Ya…. tidak apa-apa. Untung dia paham. Dia sudah berubah padaku. Seperti dulu lagi. Dia sudah punya pacar nggak ya?

Aku lagi di pintu gerbang bu. Aku tunggu.” Aku jadi geram banget. Cowok yang tak tahu diri. Kenapa juga dia tak jera menggangguku. Rasanya, aku ingin tampar mukanya. Biar dia jera. Dan tak lagi menggangguku. Membaca sms nya saja aku tak sudi. Apalagi bertemu dengannya.

Kuintip ke jendela melihat ke arah pintu gerbang. Tapi tak jelas. Karena anak-anak ramai di luar sana mau pulang. Aku keluar dari lab, menuju ke toilet. Mau wudhu tuk sholat duhur. Jalan ke toilet, berhadapan langsung ke pintu gerbang. Aku cepat-cepat ke dekat toilet. Lalu mengintip ke keluar. Yang langsung ke pintu gerbang. Seorang cowok yang entah siapa. Aku tak kenal. Tapi aku tak mau tahu siapa mereka. Walau hatiku begitu geram dengan orang iseng itu. Aku ingin memaki makinya. Tapi tidak. Aku seorang guru. Walau aku tak sempurna. Tapi paling tidak, aku tak boleh mengurangi kesempurnaan yang telah terukir di mata para siswaku. Ini di sekolah.

Sms itu datang lagi. Menunggu di pintu gerbang. Dia kok tak ada bosannya. Hp ku kembali kumatikan. Geram. Jengkel. Rasa marahku memuncak. Entah dengan apa ku harus membuatnya berhenti menggangguku. Tak bisa kutahan raut mukaku tuk tak cemberut. Pak   nandar masuk.

Kenapa? Ada masalah dengan komputernya?” “O. Tidak ada.”

Otakku tiba-tiba jalan. Tapi, ia mau nggak ya. Selama ini aku tak pernah jalan berdua dengannya. Kalau dengan yang lain sih biasa. "e..Kamu sudah makan ka? Kita pergi makan gado2-gado yok…" entah apa yang ada di pikirannya. “Saya yang traktir deh.” Kutarik tangannya keluar lab. Kulepaskan setelah mendekati pintu.

Aku mengajaknya lewat samping lab. Tak lewat depan kantor. Biar tak di godain sama teman-teman. Dalam perjalanan banyak hal yang kutanyakan yang berhubungan dengan lab. Walau sebenarnya aku sudah tahu. Sudut mataku telah menangkap dua sosok yang tidak berpakaian sekolah di depan pintu gerbang. Tapi aku tetap tak mau melihat ke arah mereka. Pura pura tak melihatnya. Aku melewatinya. Dia memanggil. “Rani!” Tak aku pedulikan. “Eh. Di panggil tuh.” Akupun berbalik. Tapi dengan muka masam. Ah. Tak usah pedulikan. Orang gila. Kataku padanya lalu kembali mengarah ke depan. Dan membahas pembicaraan yang tadi. Tentang lab.

"sebenarnya, tadi itu temanku sewaktu smp. Aku benci sekali sama dia. Selalu iseng sms. Terlalu pD mengungkapkan cinta. Tak tau diri. Di tolak tak juga jera. Aku bilang dah punya pacar tapi tak percaya. Rasanya, ingin aku apakan anak itu biar berhenti iseng. Makanya, kamu aku ajak kesini makan. Biar ia nyangka kalau kamu pacarku. Dan tak lagi menggangguku."

o….. Gitu to ceritanya.” “Iya. Tak tahu diri banget tuh orang. Aku kan guru. Masa mau sama pengangguran kayak dia. Hanya tamatan sma. Berandalan. Lagi." dia cuma tersenyum. Tapi kecut. Apa aku salah? Mungkinkah aku menyinggungnya?

Kamu sudah punya pacar di sengkang?” Kalau di sini, aku yakin dia tak punya pacar.

Entah di kampungnya. “Memangnya kenapa?” Jual mahal banget nih orang. Kayak cewek aja. “Ya..Siapa tahu aja kita cocok. He…he…” Kataku menggoda. Kini, ia tersenyum simpul. Ia pasti ragu akan kalimatku. Serius apa bercanda. “Serius?” “Menurutmu?” tanyaku balik.

Terdengar bel. Aku mengajar jam pertama di sekolah sore. Aku buru-buru makan dan mengajaknya kembali ke sekolah. “Aku duluan ya.” Berdiri dan menuju ke bu surti membayar gado-gado yang aku makan dan dia, lalu cepat-cepat pergi tanpa menunggunya. Aku tak suka di goda oleh teman-teman kalau melihatku jalan berdua dari kantin.

Kopiku mana?” Tanyaku pada bu wia. “Sudah di ambil sama pak bujang.”

Bawa kopinya ke ke lab.” Kata nandar. Aku melihat ke arahnya yang tersenyum padaku. Dia tambah perhatian aja….

***

“pak. Pinjam HP nya dulu. Aku mau sms.” Ia pun mengulurkan Hpnya padaku lalu keluar dari lab. Setelah smsku terkirim, aku iseng membuka dan membaca sms-smsnya. Mumpung orangnya tak ada.

“q beruntung banget d punya yayang yang baik, cakep kayak kamu. Slamat bobo ya! Moga mimpi indah.mmmmmuah!” hatiku nelangsa membacanya.

***













1 ayah

2 Gelar bangsawan bugis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar