tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Kamis, 09 Juli 2009

istri ke dua

Istri ke dua


Depan lagi pak sopir”. Jalan menuju rumahku berbatu batu dan sempit. Tapi Mobil yang kutumpangi masih bisa lewat,Aku sudah sampai didepan rumahku.Setelah membayar ongkos 50 ribu, akupun turun. Tak ada oleh-oleh. Hanya tas pakaian yang sekarang berada di tanganku.Rumahku nampak sepi.Mereka pasti masih di sawah. Tak kupedulikan lirikan heran para tetanggaku yang sekaligus keluargaku itu. Aku sudah pasrah. Apapun yang terjadi. Aku kembali ke orang tuaku.

Aku hanya tersenyum hambar melihat mereka dari kejauhan. Ada juga yang membalasnya, tapi lebih banyak yang tak bereaksi.

Kulangkahkan kakiku menuju rumah panggung, yang sudah 3 bulan kutinggalkan. Kuraih gagang pintu. Tak terkunci. Berarti orang tuaku ada di dalam. Mungkin belum menyadari kedatanganku. Seseorang keluar dari dalam. Langkah ibuku.

Enni!” Raut kerinduan terpancar dari matanya. “Emma’. Andampengekka1”. Aku langsung memeluknya memohon ampunan. Aku telah bersalah. Mencoreng nama baiknya.

Te lakkaimmu!?2” Tanpa aku sadari, ayahku berada di depan pintu masih dengan pakaian dinasnya, dengan parang tergantung di pinggang. Ia baru pulang dari sawah. Kelelahan dan kemarahan yang kulihat di sana. Aku jadi bergidik. Pelukan ibukupun sudah lepas saat mendengar pertanyaan ayahku.

Aku pun ambruk dalam tangisku dan bersimpuh memohon ampun. Aku tahu. Aku telah melakukan kesalahan besar. Kekhilafanku terlalu besar untuk di maafkan. Tapi aku tak tahu harus ke mana lagi. Walau masih ada marah terlihat di wajahnya, tapi maaf lebih mendominasi. Sehingga masih bisa aku lihat senyum ayahku. Aku jadi lega. Ketakutanku di usir dari rumah, ternyata tak terjadi.

Kuceritakan yang sesungguhnya, pengalamanku selama minggat dan kawin lari dengan anto, yang ternyata penipu. Ternyata dia sudah punya istri. Aku tak mau di madu.

Tapi…….Aku akhirnya diusir juga keesokan harinya karena hasutan para tetangga. Menurut mereka, Seharusnya aku datang maddeceng3. Datang dengan baik-baik dengan suamiku. Karena aku pergi dengan jalan yang tidak baik. Dalam adat bugis, seorang wanita yang kawin lari memang harus datang maddeceng agar bisa di terima oleh keluarganya lagi. Aku, bagaimana mau datang maddeceng. Suamiku saja aku tak tahu ke mana rimbanya. Pergi dengan istri oertamanya.

3 bulan pernikahan kami berjalan baik-baik saja. Apalagi mertuaku juga sayang padaku. Tapi tiba tiba, seorang perempuan datang dan mengaku sebagai istri pertamanya. Aku shok. Tak berapa lama, suamiku menghilang entah ke mana. Kata orang, dia pergi dengan istri pertamanya.

Aku kehilangan arah. Walaupun mertuaku tetap sayang, tapi aku tak mungkin tinggal di rumahnya tanpa suamiku. Aku juga tak sudi jadi istri kedua.

Selesai sholat subuh, aku pamitan dengan ibu dan ayahku. Ibuku menangis. Tak bisa berkata apa apa. Ayahku tak bereaksi. Aku berharap, ia mau mengubah keputusannya. Aku tak mungkin ke rumah mertuaku. Tapi, tak ada kata-kata pencegahan dari ayahku yang memegang kekuasaan.

Suasana yang masih gelap, membuat ojek belum ada yang nongol. Kuputuskan untuk jalan kaki saja sampai desa sebelah. Aku sengaja keluar sepagi ini. Aku tak mau menjadi bahan tertawaan karena kebodohanku. Ya. Aku memang bodoh. Begitu mudahnya percaya pada cinta. Cinta lewat hp.

Semuanya berawal, ketika aku kenalan dengan seorang cowok. Entah dia dapat darimana no hpku. Awalnya aku hanya iseng membalas smsnya. Yang akhirnya, kamipun begitu akrab. Bukan hanya smsan, tapi juga telfonnya datang setiap saat. Saat dia mengungkapkan isi hatinya, aku langsung terima. Bagiku, inilah yang namanya cinta sejati. Cinta dari hati. Karena sekalipun aku tak pernah bertemu dengannya. Tapi rasa penasaran tetap ada. Bagaimana rupanya, badannya, dan lain sebagainya. Rasanya, tak tahan menunggu kapan saat pertemuan itu tiba. Saat dia berjanji akan ke kampungku dan kerumahku, akupun sangat senang. Saat bertemu, ternyata tak mengecewakan. Tak aku pedulikan ketika dia mengaku sebagai duda tanpa anak. Itu tak penting. Yang penting cinta telah ada di hati kami. Rasa cinta itu tak berkurang.

Komunikasipun semakin lengket saja. Ayahku tak setuju. Karena aku anak satu satunya perempuan. Dia melarangku pergi jauh. Karena anto tinggalnya di luwu.

Sejak kopi darat, cintaku semakin melambung. Hanya dia yang selalu muncul dalam pikiranku. Keyakinanku padanya begitu kuat. Kalau dia adalah cinta sejatiku.

Aku benar benar diliputi cinta yang begitu mendalam. Diapun begitu. Tahu kalau ayahku tak setuju, dia mengajak kawain lari. Dan langsung kuiyakan. Sesuai dengan janji, aku naik mobil wandi, dan menjemputku di terminal.

Orangtuanya kaget, saat tahu aku melarikan diri dari rumah. Mau tak mau, Kamipun dinikahkan. Keinginanku tercapai. Pengorbananku tak sia sia. Karena suami dan mertuaku mencintaiku. Akupun melanjutkan bisnis pulsaku yang dulu kugeluti di kampung. Dan cukup menguntungkan. Karena pulsa as10 yang harga standar 13, di sana bisa kujual 15 ribu. 50 ku jual 60 ribu.

Suamiku yang keluarga petani coklat, tiap hari ke kebun. Suamikupun telah di berikan untuk dikerjakan sendiri. Aku tak menuntut untuk punya rumah sendiri. Karena aku tak ada masalah dengan mertuaku. Dan aku kira belum waktunya juga aku menuntut yang macam macam. Apalagi umur perkawinanku baru beberapa bulan. Yang aku harapkan saat itu, hamil dan punya anak. Karena temanku dulu, ada yang baru sebulan menikah sudah hamil. Dengan kehadiran seorang cucu bagi orang tuaku, aku harap itu bisa menjadi alasanku tuk datang bersilaturahmi dan bisa di terima dengan adanya cucu nantinya.

Tapi khayalanku tak seindah kenyataan.Takdirku berkata lain.Umur perkawinanku hanya seumur jagung. cinta buta itu, telah membawaku ke penderitaan yang tak pernah kubayangkan. Dan tak bisa aku salahkan. Orang satu-satunya menjadi tumpuanku, mengusirku dari rumah.

Enni! Kapan datang?” Seseorang menepuk bahuku saat lagi duduk di dekat pertigaan nunggu mobil. Sudah ada mobil mangkutana yang lewat. Tapi aku masih bingung. Sampai di sana, aku akan tinggal di mana?

Tante sanna”. Airmataku langsung jatuh. Dia saudara ibuku. “Kenapa menangis? Suamimu mana?” Kusapu airmataku. Ada secercah harapan. Aku bisa minta bantuan ke dia. “Aku di usir. Kalau tak bisa pulang bawa suamiku, aku harus minta surat cerai. Tapi aku di mangkutana mau ke mana?” tak ada orang yang kukenal selain keluarganya anto. Dan aku tak mungkin ke sana. Aku malu”. Bulir bulir air mata nampak menetes dari matanya. Dia mengusap rambutku. “Kenapa nasibmu buruk sekali nak…. Sebenarnya, kita punya banyak keluarga di mangkutana. Ada yang kenal sekali. Tante malu. Rumahnya di lembo harapan. Tahu lembo harapan?” “Tahu tante”. Jawabku cepat. “Tidak terlalu jauh dari palesu padang, rumah mertuaku”. Jelasku padanya.

Jadi kamu lagi tunggu mobil?” “Iya tante.”

Sebuah bus dari jauh datang. Sepertinya itu mobil wandi. Kata tanteku. Kayaknya sih. “Mangkutana!”. Teriak kernetnya. Mobil itu singgah saat kulambaikan tanganku. “Pergi dulu tante”. Sambil mencium tangannya. Hati-hati nak. Tak lupa ia menyelipkan uang di kantongku. Ia Melepaskan ku dengan berat hati.

Kursi bagian depan sudah penuh. Tak jadi masalah. Di lorongnyapun aku duduk sudah lumayan. “Duduk sini”. Kata kernetnya. Menunjukkan sebuah kursi kosong di samping seorang ibu muda.

doaku pada Tuhan terkabul. Rumah tante malu, ternyata di samping perwakilan wandi. Dalam perjalanan tadi, aku sempat nanya ke kernetnya. Dari dialah aku tahu. Kalau tante malu itu tinggal berdua dan tidak mempunyai anak. Orangnya baik dan ramah. Aku tenang sekarang.

Tanpa membawa pakaian, aku ke rumah tante malu. Pas disamping kanan perwakilan wandi. Tak ada yang mengantarai. Tante malu lagi duduk di teras, sedang suaminya lagi memberi makan ayamnya. Terdengar dari kejauhan suara mengaji dari masjid. Dengan penuh keheranan dia mempersilahkan aku masuk ke rumahnya saat aku memberi salam.

Saya enni. Anaknya pak Bure dari otting”. Aku memperkenalkan diri. Dia langsung kenal dengan ayahku. “Kenapa bisa ada di sini nak?”

Walaupun ini aib, tapi aku dengan jujur mengungkapkan semuanya. Karena aku berharap dia dapat membantuku mengurus surat ceraiku. “Kamu tinggal di sini saja nak”. Tawarnya tanpa aku minta saat tahu aku tak tahu harus ke mana. Itu memang yang kuharapkan. Dengan langkah ringan, aku langsung kembali ke perwakilan ambil tasku yang berisi pakaian.

Seminggu sudah aku di Mangkutana. Ternyata aku punya banyak keluarga di sini. Lebih dekat malah hubunganku dari tante malu. Yang juga tinggal di samping rumah tante malu.

***

Hp ku berbunyi. Dari mamaku. Langsung kuangkat. “Enni…..,” baru itu yang kudengar, sudah di sambung dengan isakan tangis. Akupun tak bisa membendung airmataku. “Iye ma….”. Jawabku denga isakan tangis pula. Menunggu ibuku kembali bicara. “Pulang saja nak. Ayahmu sudah memaafkan kamu.” “Benar ma?” Tanyaku tak percaya sambil menyeka airmataku. “Iya.” “Tapi ma.. Aku belum bisa pulang. Biar aku selesaikan semuanya. Aku sudah terlanjur di sini.”

Saat lagi di landa derita, kita baru merasa membutuhkan Tuhan. Selama ini, aku memang sholat. Tapi kadang bolong-bolong. Sekarang, aku benar-benar baru merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupku. Doaku juga selalu sehabis sholat agar ayahku bisa memaafkanku. Dan berharap, ini adalah yang terakhir aku salah langkah. Doaku sudah terkabul. Sekarang, tinggal menunggu waktu, ke palesupadang, rumah anto, suamiku. Semoga dia sudah ada di rumahnya.

Nanti kita minta tolong sama pak renreng, mengantar kamu ke sana.” Kata tante malu saat kuutarakan keinginanku untuk segera ke sana.Pak renreng juga sepupuku. Sudah tinggal di sini selama bertahun tahun dan mantan kepala desa. Dia cukup disegani.

Selesai sholat duhur, aku ke rumah pak renreng. Dia tadi bilang akan berangkat setelah duhur.

Tunggu dulu. Aji belum datang dari kebun. Ia katanya mau ikut.” Katanya saat melihatku datang. “Iye.” Aku tak jadi masalah. Istrinya yang dia panggil Aji, sebentar lagi pasti datang. Karena sudah duhur. Yang penting pergi. Tante malu juga akan pergi dengan suaminya. Dia menunggu di rumah.

Akupun duduk menunggu sampai istrinya datang.

Ada rani?” Dian datang membawa sebuah kantongan hitam.”Ada di kamar.” Kata pak renreng.

Kenapa?” Rani keluar dari kamar. Mungkin mendengar ia di cari. “Tas dari bu wayan.” Diapun mengambil tas itu yang dalam kantongan. “Mau ke mana?” Heran melihat dian yang rapi. “Aku juga mau ikut ke palesupadang.” Tadi memang ia datang ke rumah. Dan tante malu mengajaknya. Biar ramai katanya.

Wah, ramai dong nanti kamu ke sana. Tapi sabar ya. Mamaku belum datang dari kebun. Dia mau ikut juga. Kalau mau cepat pergi, pergi aja panggil di kebun.” “Tidak ada kendaraan.” “Tunggu saja sampai datang.” “Kita tidak pergi?” Dian balik nanya.

Malas.” Lalu masuk ke kamar. Dian juga pulang.

Setengah jam kemudian mama rani datang dengan ember dan pisau di tangan dengan badan yang terlihat lelah. Keringatan nampak di wajahnya. . “Berapa karung?” Sambut pak renreng. “Ada 2 karung.” Dia terus berjalan menuju dapur menyimpan bawaannya.

Katanya kamu mau ikut. Ayo cepat berpakaian.” “Iya. Aku sholat dulu.”Terdengar percikan air. Ia berwudhu. Aku tetap duduk diam.

Dengan mobil phanter pak renreng kampipun meluncur. Tak lupa beberapa orang diambil di rumah tante malu. Di dalam mobil tante malu tak pernah berhenti bercerita. Ada ada saja yang ia ceritakan ke istri pak renreng yang duduk di depan. “Besok, saya mau petik coklat lagi. Pasti sudah banyak yang masak. Karena sudah setengah bulan aku tidak petik.” “Iya. Saya liat tadi memang banyak yang masak.”

Kebun pak renreng dan tante malu dekatan. Sebenarnya, itu juga kebun pak renreng, tapi digadai oleh tante malu. Sampai sekarang belum bisa dikasi keluar.

Tadi saya sempat petik lombok. Berapa sekarang harga lombok?” Tanya istri pak renreng. “12rb perkilo kemarin kujualkan.” Kemarin, aku juga ikut petik lombok di kebun tante malu. Lumayan ada 3 kg.

Di depan lagi. Rumah tinggi pagar warna biru.” Jelasku tentang rumah anto. “Ya! Ini!” Kataku lagi setelah sampai pas di depan rumahnya. Pak renreng langsung membelokkan mobil itu masuk ke halaman rumah. Ibu mertuaku yang lagi menggaruk coklat, menghentikan kerjanya.

Melihatku keluar dari mobil, langsung datang padaku dengan sukacita. Mempersilahkan kami semua naik. Tapi hanya aku, sare dan pak renreng yang naik ke rumahnya yang terbuat dari kayu dengan gaya bugis. Yang lainnya duduk di bawah rumah.

Dia tak pernah kembali nak, sejak dia pergi.” Cerimtanya dengan berurai airmata. Kedatanganku sia sia. Dia tak ada. Masih lengket dengan istrinya.

Dalam agama, 6 bulan suami tak memberi nafkah, maka akan jatuh talak. Biarpun kamu tdk mempunyai surat talak. Itu hanya formalitas saja.” Jelas pak renreng padaku. Saat perjalanan pulang.

Biarlah besok aku kembali ke bone. Kembali ke keluargaku. Suamiku yang entah di mana rimbanya, tak usah kupikirkan. Biarlah aku menenangkan diri dulu. Dan merenungi, semua yang telah terjadi pada diriku. ***


1 Ma. Maafkan aku

2 Mana suamimu?

3 Datang baik-baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar