Si putih kehilangan suaranya. Saat menjelang subuh, tak lagi terdengar suaranya yang lantang yang kadang membuat iri para pejantan tangguh di seberang sana. Ia ibaratnya seorang cowok yang ganteng, tinggi, putih, bersih dan tegap. Tinggal di balik tembok istana yang dikelilingi dengan benteng yang tinggi. Makanan tak pernah kehabisan. Saat makanannya habis, sang majikan segera menambahkannya. Tak perlu lagi mengais-ngais di dekat comberan ataupun di pasir mencari makanan berebutan dengan yang lainnya.
Suatu hari, aku ke mayoa dan menitipkan pesan pada pamanku untuk memberinya makan. Awalnya mau kubawa ke rumahnya saja. Dia punya kandang yang tak terpakai. Akan di kandangkan selama di sana. Tapi ternyata ada anak ayamnya yang baru menetas dan mesti di kandangkan. Aku takut, ia akan hilang jika di lepas di sana. Ia belum pernah menikmati alam bebas. "Biar nanti saya ke rumahmu kasi makan kalau saya pergi mesjid". Kata pamanku memberi solusi.
Berjalan satu dua hari, aman-aman saja. Ke tiga harinya.... "ayamnya hilang". Kata pamanku di balik telfon.
Suaranya yang lantang tiap subuh, pasti telah menggoda sang pencuri ayam. Menurut ayahku. "Pasti ada yang curi'. Ia juga sih.... Apalagi rumah kosong. Tetangga juga jauh.
Tak apalah ia hilang. Yang penting ayam rasku, si merah tak hilang. Si merah adalah kesayangan aku dan suami. Karena dia, kami bisa makan telur gratis. higinis. Rasanya manis (klo di buat kue), dan kalau di makan pasti habis. He.... he... he...sok puitis.
Pamanku kembali menelfon. Ternyata si putih ada, berkeliaran di belakang rumah dan tak bisa ia tangkap.
Sepulangnya kami dari mayoa, hanya parkir motor, langsung mencari si putih. Buronan kami!
"Itu dia". Tunjuk suamiku saat mendengar kokokannya yang khas. Pelan-pelan suamiku mendekatinya. Ia lari. Nampaknya sudah tak mau lagi masuk dalam sangkar emas.
Sangat liar. Suamiku sampai ngos-ngosan memburunya. Dia begitu gesit dengan badannya yang besar dan tegap. "Ayam ta ka pale itu yang besar? Ku kira siapa punya". Kata mirna saat kutanyakan keberadaan ayamku td.
Dia sudah terjepit. Aku menghadangnya. Suamiku di belakangnya. Tembok kiri kanan."kau takkan lolos".
Ia kedepan, ke belakang. Terjebak. "Auuuu!" Aku berteriak. Ia melompat ke arahku, menerobos pertahananku. Aku otomatis menghindar. Takut di patok. Apalagi ia sedang ketakutan. Bisa saja ia menyerangku dengan membabi buta.
"Biarkanmi saja daeng". Aku menyerah. Sudah hampir 30 menit kami berburu namun tak ada hasil. Cuma Berkeliling di belakang rumah. Ia juga tak mau pergi jauh. Suamiku tak menyerah. Ia penasaran. Selain itu Ia sayang juga sama ayam itu. Di pelihara dari kecil, saat masih lucu-lucunya dengan warna yang menarik hingga besar. Ia takut ada yang mengambilnya.
Si putih ini termasuk beruntung. Umurnya panjang. Aku memilihnya menjadi pendamping hidup si merah setelah melalui seleksi berminggu-minggu. Ia yang paling tegap di antara semua pejantan dan agak ramping. Pejantan yang ideal yang mampu menghasilkan keturunan yang bagus. Kata pak google. Tapi sampai sekarang, si merah tak pernah mengerami telurnya. Kuputuskan menyantap habis telurnya tiap pagi. Lagian, aku juga sudah beli anak ayam ras 6 ekor.
Enam temannya telah di eksekusi. Aku sebenarnya sedih melepas kepergiannya. Aku tak mau melihat tubuh mereka yang tergeletak bersimbah darah. Tapi.... itulah takdirnya. Jadi ayam potong. Mungkin itu juga yang membuatnya trauma. Satu demi satu temannya menghilang. Awalnya dua yang menghilang. (Aku potong saat mertuaku datang. )Yang kedua, hilang 4, (kupotong saat ramadhan) dan tak pernah kembali. Mungkin Ia bertanya-tanya. "Kemanakah semua temanku ? Aku rindu canda tawa mereka. Rindu berebut perhatian dengan si merah... dengan berkokok selantang dan seindah mungkin. Hanya si merah saja yang betina, sehingga ia jadi rebutan. Si merah pun kadang bertanya... kemana mereka semua?
Saat malaikat turun ke bumi di seperempat malam, ia mungkin pernah bertanya. Dan jawabannya sungguh mengejutkannya sehingga ia mau lari.
"Teman-temanmu telah mati".
"Mati? Aku belum mau mati. Aku masih ingin hidup. Aku ingin melihat dunia luar. Aku ingin terbang. Aku ingin seperti teman-temanku yang di luar sana, yang selalu memanggilku di balik tembok dan menceritakan indahnya hidup di luar. Bertengger di dahan-dahan pohon yang rindang dan bercengkerama, menggoda para betina dengan kokokannya". Dan akhirnya... ia berhasil!"
Suamiku terus memburu. Nampaknya ayam itu juga telah lelah. Tak bisa mengelak, ia pun masuk ke kandang ayam Baco.
Akhir dari petualangannya.
***
Ia menghilang lagi. Nampaknya sudah tau cara melewati pagar tembok itu. Tapi ia takkan pergi jauh. Palingan hanya di belakang rumah menebar pesona dengan ayam-ayam Baco. Atau memburu para betina itu jika tak tergoda juga. Walhasil.... mereka semua lari terbirit-birit.
Musim penyakit tiba. Pergantian musim hujan ke musim kemarau membuat virus-virus beraksi. Bukan hanya manusia yang terkena flu dan batuk berdahak. Para unggas juga. Banyak ayam tetangga yang mati.
Bahaya! Si putih kan ada di luarrr.....
Suamikupun menangkapnya.
Hari pertama masuk istana, ia baik-baik saja. Hari kedua, ia sudah tak nyaman. Jarang berkokok. Mungkin virusnya baru beraksi. Si merah juga sudah ketularan. Hidungnya sudah basah. Dengan sigap kubelikan bodrex. Si merah gampang saja di berikan obat. Dia jinak. Si putih.... ia sepertinya begitu benci padaku. "Oh iya.... kasi saja di minumannya. Esoknya....ia
Sudah sehat nampaknya. Ia kembali aktif seperti biasanya.
Tapi.... suara kokokannya jadi kecil. seperti tercekik.
Radang tenggorokan. Itulah mungkin yang menyerangnya. Ciri-cirinya sama dengan penjelasan pak google yang di sebabkan oleh virus dan bakteri. Harus minum antibiotik. Kubiarkan tanpa memberinya obat. "Galak, sih!"
Sudah dua minggu suaranya tak kembali. Mendengar ia berkokok dengan suara yang kecil, malah terasa lucu dan menertawainya. Mungkin ia tahu arti dari tawaku. Karena, jika aku di dekatnya, ia akan melirikku lalu melebarkan sayap kanannya seperti hendak menyerangku. Aku menjauh. Ketakutan. Ia semakin menjadi-jadi. Agar ia takut, aku pegang sebuah balok-balok lalu mengancamnya. Tapi malah, ia langsung menyerangku. Aku balik menyerangnya dengan balok-balok itu.
Atau dia marah karena aku tak mengobatinya? Membelikan antibiotik di warung? Sehingga suaranya tak kembali?
"Beli sendiri! Siapa suruh jadi ayam galak!" He... he... he...
"Awas, ya! Kalo macam-macam! Lebaran haji juga sudah dekat.
Akan ku potong kau dengan Bismillah......"
Jika ia keluar, sudah aku biarkan. Mungkin ia lebih bahagia bisa berada di luar sana. Lagian, umurnya sudah tak lama lagi.
Apakah di luar sana ia benar-benar bebas? Tidak. Ia punya saingan dalam berburu betina. Ayam hitam bangkok milik baco nampakx lebih garang dari dirinya. Kecil, tapi gesit. Jika bertemu dengan si hitam, ia akan melarikan diri. Kalau tak ada jalan keluar lagi, ia akan menyelamatkan diri ke dalam bentengnya. Aman. Apalagi kalau suamiku ada.
Berkeliaran di depan rumah orang, ia juga di usir. Di lempari batu. Akhirnya ia berlari dan sampai di depan rumah dan masuk. "Ternyata ia tau juga kediamannya". Soalnya ua belum pernah ke halaman depan. Biasanya cuma di kebun belakang.
Suamiku merasa kasian. Ia tak mau si putih berkeliaran, lalu di buru sama si hitam, atau di lempari oleh tetangga. Si putih ia tangkap dan kakinya di ikat. Biar tak bisa keluar lagi melompati dinding tembok.
"Daengggg!daengggg!!!" Belum ada sahutan dari dari dalam. Aku tambah volume suaraku karena panik."daeng....! Daeng!!!" Aku benar-benar kaget melihat si putih berlumuran darah di lehernya. "Yaaaaa...!" Barulah kuhentikan teriakanku. "Ayam ta' daeng!!!!"
Si hitam langsung mencari jalan keluar. Takut! "Pasti dia pelakunya. Yang telah menyerang si putih. Si putih tak berdaya. Ikatan kakinya membuatnya tak bis bergerak bebas. Sehingga si merahpun dengan leluasa menyerangnya dari kiri kanan.
Mahkota di atas kepalanya yang merah, semakin merah dengan menetesnya darah. "Kasiannnn kamu putih..."
Aku marahi suamiku. Karena telah mengikatnya. Lalu membuka pintu belakang. Sehingga si merah masuk. Aku cepat-cepat menyuruhnya membeli betadine untuk mengobati lukanya. Sekalian amoxilin, biar suaranya bisa kembali. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Suaranya sudah hilang, ia malah di serang tanpa perlawanan yang berarti.
Sambil menunggu suamiku beli obat, akupun memberinya minum. Paruhnya terbuka dengan lidah keluar masuk. Lelah. Melihat air yang aku sodorkan, ia pun meminumnya....
Nampaknya ia juga trauma dengan serangan membabi buta si hitam.
Darah yang berlumuran di sekitar lehernya di cuci, lalu mahkotanya di bersihkan darahnya lalu di olesi betadin. Mata kirinya hampir buta seandainya ia tak mengelak.karena sebuah patokan nampak jelas di atas matanya. Membuatnya selalu menutup mata kirinya.
Lehernya yang basah, mebuatnya mengepakkan sayapnya tuk menghilangkan air yang masih menempel lalu berjemur di bawah matahari. Sesekali memejamkan mata.
Semoga kau tak tergoda lagi tuk keluar. Karena di luar sana, kadang tak seindah yang dibayangkan.
Seperti biasanya, tiap pagi si putih selalu berkokok. Namun kokokannya kali ini lebih sering. Mungkinah dia juga senang dengan perayaan hari raya idul qurban hari ini? Ataukah malaikat telah memberitahunya bahwa tak lama lagi ia akan menyusul teman-temannya?
Imam mulai takbiratul ihram "allaaaaaahu akbar." Ayamkupun tak ketinggalan "kok ko ko koooooookkkkkkkkk". ,
Aku pasti akan rindu padanya....
"Janganmi di potong si putih le...kasian...."
Kataku kemarin pada suamiku lagi. Tapi tetap dia berkata, "potongmi saja. Sudah takdirnya jadi ayam potong."
Dua ekor ayam telah di potong yang di bawa oleh suamiku dalam ember. Nampak ekor si putih tersembul.
Aku tak sanggup melihatnya. Aku tak mau membersihkan dan mencabuti bulu-bulunya yang biasanya jadi tugasku. Aku masih tak ikhlas melepas kepergiannya.
Hampir setahun ia kupelihara dan selalu menjadi bahan pembicaraan antara aku dan suami.
Biarpun ia benci dan takut padaku, tapi dia telah menjadi bagian dari hari-hariku. Memberinya makan, minum, perhatian, dll.
Akhirnya dengan rela, suamiku yang membersihkan kedua ayam itu dan mencabuti bulu-bulunya.
Putih.....selamat jalan. Semoga kau di terima di sisinya. Aku pasti akan rindu dengan kokokanmu.