tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Kamis, 09 Juli 2009

bengkel pak madi

BENGKEL PAK MADI


Aku menaiki motorku, memasukkan kunci kontak, membuka coknya,dan menstaternya. Motorku sudah menyala. Aku biarkan sampai beberapa menit. Sampai panas. Setelah panas, coknya kuturunkan, dan siap berangkat. Tapi...Ada yang lain ketika ku jalankan motorku dengan pelan. Kumiringkan tubuhku melihat ban depannya. Kempes lagi! Tapi masih ada kesempatan kok tuk menambalnya. Pelan2 motorku kujalankan keluar dari rumah menuju rumah h.Dawang. Tempatku biasanya menambal ban. Beberapa meter dari rumahku.

H.Dawang lagi sibuk memberikan label pada plastik2 kue di depan gardunya. Sekarang ini memang usaha penjualan kue bagia nya lagi laku keras. Karena rasanya enak. Ia menjualnya di daerah soroako. Sangat menguntungkan. Karena barang2 di sana mahal. Hargnaya bisa sampai dua kali lipat. Maklum. Daerah tambang. Di kalaena 15 ribu, kalau di sana bisa 30rb. Tiap minggu ia mensuplay kue2nya ke toko2 di soroako dengan menggunakan mobilnya sendiri. Mobil phanter.

Ada apa?” Melihat ke arahku, menghentikan pekerjaannya sejnak. “Mau tambal ban”. Kataku. “Tidak tambal ban mi. Tidak ada yang kerja.” Jawabnya. Biasanya dia sendiri kok yang tambal. Mungkin karena dia kewalahan mengerjakan usahanya ini bersama istri dan anak menantunya.

Sebenarnya, usaha ini milik anaknya Darma. Tapi darma anak satu2x perempuan kok. Jadi, sama saja. Semua usahanya tuk mereka semua. Karena tak perlu bersaing dng saudara2 yg lain tuk mendapatkan hasil kerja orang tua.

Kalau ganti ban, bisaji.” Katanya lagi. Ganti ban? Ini ban baru. Baru seminggu aku ganti. Masa harus ganti lagi? Mana uang lagi menipis. Yang di kantong Cuma lima ribu.. pas untuk ongkos nambal. bannya kan masih baru. Kalau masih bisa di tambla, kenapa tidak?

Kompa saja.” Sarannya. Mungkin dia tahu aku tak punya uang karena melihatku terdiam. “Nanti di tambal di luar.” Nasihatnya lagi. Aku setuju. Setelah di kompa, ternyata tak menimbulkan bunyi. Seperti suara mendesis kalau bocor.

Motorku kulajukan cepat. Di margolembo nanti akan ada bengkel. Semoga saja bisa bertahan sampai di sana. Apalagi, semakin lama, bannya mulai mengendur.

Sampai juga di bengkel. “Tambal mas.” Kataku pada tukang bengkel yang nampaknya masih sangat muda. Kulitnya putih dengan topi rajutan di kepalanya. Tangan, lengan dan bajunya penuh dengan oli karena sementara mengotak-atik sebuah motor.

Ia membuka dan memeriksanya. “Tidak bisa di tambal”. “Kenapa?” “Karena bocornya dekat pentilnya”. Dia memperlihatkannya padaku bagian yang bocor.

Gimana ya….” Kurogoh kantongku. Kudapatkan uang 1000 rupiah lima lembar. Di dompet, kudapatkan uang lima ribuan. Uangku cukup nggak ya. “Berapa kalau ganti ban?” tanyaku sambil tetap mencari uang di sela-sela buku. Aku pernah melihat uang lima ribuan di sela-sela bukuku. Tapi aku lupa. Siapa tahu saja sudah aku belanjakan.

25 ribu.” Jawabnya. “Tapi, bisa besok di bayar nggak? Karena uangku gak ada”. Merasa ragu juga sih mau ngutang. Dia kan tidak kenal aku. “Ok. Bisa aja”. Aku jadi lega. Mungkin pakaian dinasku menjaminnnya. Kalau aku tak mungkin berbohong. Karena aku seorang guru. Apalagi, tiap hari juga aku lewat. Ada uang di tasku. Entah berapa. Banyak lembarnya. Tapi rata2 uang seribuan.

Lama tidak?” “Tidak. Cuma 15 menit aja”.

Kutengok jam yang ada di hpku. Sudah hampir setengah 8. Bisa2 aku terlambat lagi. Perjalananku kan ke sekolah sekitar 10 menit lagi. “Cepat ya.” Ia mengangguk dan tersenyum. 15 meint. Selesai.

Ini uangnya.” Sodorku. Dia heran. “ternyata cukup uangku”. Dia tersenyum dan mengambil tumpukan uang yang rata-rata seribu. Pasti dia berfikir. Ternyata aku guru kere’ he….3x. memang kenyataannya begitu kok.

***

Aku lagi kepingin makan mie. Kuambil uang 5 ribu yang ada di kantong bajuku. Menuju rumah Ros. Aku berjalan beberapa meter. Lalu menyeberang jalan. Sebenarnya ada warung yang jualannya seperti Ros yang agak dekat dari rumahku. Di seberang jalan sebelah kanan. Tapi aku jarang ke sana. Kecuali kepepet. Burv2. Atau aku tahu kalau barangnya tak ada di rumah Ros. Karena aku akan merasa tak enak, kalau Ros tahu aku belanja di sana. “Kalau mau ngutang ke rumahku, tapi kes ke yang lain”. Pasti begitu pikirnya.

Aku juga akrab dengan Ros. Kalau ke rumahnya aku tak sungkan2. Seperti rumah sendiri. Kalau pergi belanja, aku biasanya tak langsung pulang. Ngobrol apa saja.

Kenapa belum jadi bengkelnya?”menatap kea rah rumah yang katanya akan dijadikan bengkel, sambil duduk di meja kayu di depan rumahnya. “Tidak jadi”. Katanya sambil mengulurkan belanjaanku dalam sebuah kantongan berwarna hitam. Aku sambut. Dan aku mengungkapkan keherananku. “Kenapa bisa tidak jadi?” Karena yang kutahu. Orang yang tinggal di rumah itu akan membuat bengkel. Tempat untuk kerja bengkelnya sudah jadi. Hanya perlengkapan bengkelnya saja belum ada.

Ada katanya yang tidak setuju. Karena bisa mengganggu orang sembahyang. Karena berhadapan dengan mesjid. Baru bisa katanya mengganggu orang yang di kantor kalau rapat”.

Ucapnya dengan senyum miris. Merasa lucu. Dan itu memang yang aku rasakan. Lucu. Jika alasannya itu. Mengganggu orang sholat? Mungkin saja. Karena suara kompresor sedikit bising. Tapi kan bukan bengkel besar. Tapi kalau alasannya kantor? Aku tertawa. Ros juga. Bagaimana tidak lucu? Mengganggu kalau ada rapat di kantor. Memangnya itu kantor apa? Hanya kantor desa. Yang terkadang hanya semut, lalat, yang menghuninya. Manusia, hanya sesekali berkunjung. Di penuhi, kalau ada pemilihan kepala desa, 5 tahun sekali. Di datangi tiap hari senin sekitar 3 orang atau lebih dengan menggunakan pakaian dinas linmas, yang hanya datang nongkrong, tak mengerjakan apa2, ngobrol, sambil menikamati cemilan dari rumah Ros. Jam 9, mereka akan kembali ke rumah masing2. Rapat? Kadang. Kalau ada, sekali dalam enam bulan. Jadi, rasanya tak masuk akal sekali kalau alasan kantor desa. Ok kalau mengganggu saat rapat. Tinggal bilang. Supaya tukang bengkelnya tak beraktifitas selama rapat.

Ros sependapat dengan semua alasan2ku. “Kalau soal mengganggu orang yang sholat di mesjid. Kalau sholat kan bisa berhenti dulu. Sholat juga tak lama. Paling 15 menit. Sang tukang bengkel juga kan sholat di mesjid.” Kata Ros.

Siapa ka yang keberatan?” dia juga tak tahu jawabannya. Ia hanya melanjutkan keksalannya “Itu hari, maumi kasian keluar beli kompresor. Karena sudah jadimi bengkelnya. Tinggal alat2nya mau di beli. Singgah pak camat. Di tanya’i kalau ada yang keberatan. Karena katanya mengganggu. Mengganggu kantor dan masjid. Jadi isinnya tidak bisa keluar. Padahal dulu dari memang menghadap sama pak Camat. Di surumi bikin. Tapi pas jadi, di larang. Kasiannya….”.

Aku ingat. Pak mahdi datang ke kampung ini beberapa bulan yang lalu. Atas persetujuan sang empunya, h.Saleh, rumah yang telah lapuk tak berpenghuni yang di beli oleh h. Sale beberapa tahun yang lalu dari orang tator seharga 6 juta, di berikan pada pak mahdi tuk di tinggali atas bantuan keluarga pak Mahdi yang kenal baik dengan H.sale.. Tanpa kena sewa.

H.Sale memang termasuk orang kaya. Hanya di pinjam. Untuk membuat bengkel. Rumah itupun ia perbaiki. Kemudian di depannya ia buat lagi bengkel yang lantainya di semen. Aku tentu heran. Itu kan bukan miliknya. Hanya di pinjam. Biayanya pasti besar. Bagaimana kalau tiba2 h.Sale mau mengambilnya. Tapi menurut Ros, “tidak mungkin. Mau dia apa rumahnya yang di tenri sannae. Di sana rumahnya besar”. “Tapi, siapa tahu saja. Apalagi sekarang, anak h.Sale yang tertua mau jadi polisi. Dan ia mempersiapkan uang sekitar 100juta. Kalau kepepet, dan persediaan uangnya tak cukup. Karena info terbaru aku terima, sudah 120 juta mau masuk polisi.”

Iya juga. Tapi ini kasian. Baru mau memulai. Sudah di larang. Banyakmi habis uangnya untuk bangun ini bengkel. Enak sekali kalau ada bengkel dekat. Kalau meletus ban motorta? Tidak jauh ki lagi pergi.”

Iya. Kalau ada juga orang yang lewat, kempes atau rusak motornya, bisami na perbaiki motornya, bisami juga singgah sembahyang. Bagus sekali malah kalau ada bengkel di sini. Apalagi saya. Pernah, mauka pergi sekolah. Eh. Kempes bannya. Ke rumahnyaka h.Dawang. Tapi tidak maumi pres. Tidak ada yang kerja. Karena itu waktu lagi na urus jualan kuenya. Mauji kalau ganti ban. Na tidak ada juga uangku. Jadi kukompa saja baru kutambal di luar.” Kuceritakan lagi pengalaman yang selalu melandaku. “Siapa kira2 ya?” Tanyaku lagi pada Ros. Merasa penasaran pada orang yang berfikiran picik itu.

Tidak tahumi juga. Awalnya, na kira pak imam yang keberatan. Darimi sana. Ternyata bukan.”

Aku kembali tertawa. “Kenapa?” Suami Ros datang dari dalam rumah. Heran. Melihatku tertawa. Mau tahu juga yang aku tertawakan.

Kenapa dia mau keberatan. Na dia juga malas ke mesjid. To?” Meminta kebenaran kataku dari jafar. Karena ia rajin sholat di mesjid. Iyapun tertawa. Ia pun paham maksudku. Kalau yang dibicarakan adalah bengkel yang ada di samping rumahnya.

Karena ia tahu. Kata2ku tak salah. Hanya ramadhan pak imam aktif di masjid. Tiap malam datang. Duhur ashar, subuh, tak di jamin. Lebih2 sekarang ini. Jumat pasti datang sholat jumat. Tapi waktu sholat yang lain, aku jarang melihatnya, sejak aku juga mulai terbuka hatiku sholat di masjid yang menjadi tetanggaku yang terdekat.

Na kira, etta ta’1 yang larang. Padahal bukan”.

Aku tahu kalau rumah itu mau di jadikan bengkel dari ayahku. Tapi tak ada rasa tak setuju. Malah, rasa kasian yang tersirat. Kalau ada yang keberatan tentang terganggunya mesjid, yang keberatan pertama memang haruslah ayahku. Karena rumah kedua ayahku adalah masjid. Waktu sholat, jangan cari dia di rumah. Tapi di mesjid. Yang selalu jadi imam kalau pak imam tidak ada adalah ayahku.

Aku pulang ke rumah dengan rasa iba pada pak madi. Aku ingin menolongnya. Aku ingin. Bengkel itu bisa ia buka. Bisa mengais riski dari desa ini. Dia tak punya kebun coklat seperti yang lainnya. Kalau bengkel itu tak di buka? Uangnya tak akan kembali.

Rasa itu benar2 berkecamuk. Keberanianku muncul. Aku akan menghadap pak camat. Dan menceritakan segalanya. Kalau perlu, diadakan rapat. Atau voting. Siapa setuju dan tidak setuju. Atau memanggil orang yang keberatan itu. Sesuaikah alasannya dengan keadaan dirinya. Aku yakin. Orang yang penuh dengki ini, bukanlah orang kantoran, ataupun penghuni masjid. Paling juga orang2 yang picik, yang tak ingin melihat orang lain berkembang. Tapi, apakah aku berani menghadap ke pak camat? Apakah aku akan di pandang? Semangatku kembali kendor.

Jalan terbaik, Aku mengadu pada ayahku tentang bengkel pak madi. Dia juga ternyata sudah tahu. “Tidak bisa memang camat keluarkan isin kalau ada yang keberatan. Harus ada tanda tangan dari tetangganya.”

Kalau soal tetangga, tak ada yang keberatan. Herman, tetangga Ros yang berada di belakang rumahnya malah senang. Karena rumah itu menakutkan kalau tak ada yang menempati. Begitupun dengan Ros. Aku, tentu yang paling senang. Selalu menjadi korban ban kempes. Dan ditegur kepala sekolah. Karena lagi-lagi terlambat. Satu hal paling penting, bisa ngutang. He….3x

Kenapa kita tidak tolong etta? Bicara sama pak camat? Tidak kasianki liatki?”

Tidak pernah juga na bilang sama saya. Atau minta tolong. Lagian, sudah menjual racunmi sekarang”.

Dia sudah berbalik arah rupanya. Berarti, tak jadi masalah sekarang. Dia tak patah arang. Aku kira, dia hanya pasrah.

Lengkap racun yang na jual di sana”. Lanjut ayahku.

Memang seharusnya begitu. Selalu ada jalan. Penjual racun memang belum ada di kampung ini. Daerah perkebunan coklat, racun adalah kebutuhan pokok juga. Jadi, pasti laku. Jadi, aku tak perlu membujuk ayahku yang mantan kepala desa yang masih punya pengaruh, tuk menolongnya. Karena ia sudah menemukan jalannya sendiri.

Sepulang sekolah, aku singgah di rumah pak madi. Aku mau suruh periksa motorku. Kalau aku yang naiki, bannya sih masih bisa bertahan. Tak sampai rata dengan besinya. Tadi sudah aku kompa di luar. Pulang sekolah, kembali lagi lembek. Mungkin meletus lagi. Ia tak ada. Pasti di masjid. Karena hari jumat. Terdengar suara khutbah dari masjid. Aku memanggil dari luar saat kulihat dari balik jendela, istrinya lagi mengayun anaknya. Dia keluar. “Tolong kita suru coba periksa ban motorku”. Setelah di iyakan, kutinggalkan motorku menuju rumah. Menyalakan tv. Lalu menonton sambil makan nasi kuning yang kubeli di kantin sekolah. Kunikmati kesendirianku. Tak akan ada yang mengganggu. Semua pintu telah aku kunci. Aku tinggal sendiri lagi. Karena ortuku ke mayoa lagi. Sudah seminggu ia ke sana. Dan hamper tiap minggu meninggalkanku sendiri. Seminggu di sini, seminggu di sana.

Isma anak ros yang baru kelas 4 sd, datang mengetuk-ngetul pintu. “Kenapa?” aku keluar juga setelah mendengar ia berulang kali memanggil. “Pergiki liat katanya dulu motorta” “Iya. Nantipi.” Diapun pergi. Aku melanjutkan nonton tv. Acaranya bagus. Motorku, nanti sore juga bisa.

Selesai sholat asar, aku baru ke sana. Perutku terasa lapar lagi. Dan aku belum memasak. Sekalian pergi ke rumah Ros beli mie. Kubawa uang 10rb. 5 ribu untuk tambal ban.

3 bocornya. Kita saja. Mau di tambal atau ganti ban.” Diberikannya sebuah paku tindis yang berhasil menusuk ban depan motorku. “Karena berputar, lubangnyapun bertambah”. Katanya, “kalau ditambal, 5rb 1 lubang. Kalau 3, 15 ribu. Kalau ganti ban, 25 ribu.” Aku jadi bingung. “Tunggu pale’ dulu”. Aku ke rumahnya Ros dulu beli mi. Sambil berfikir. Karena uangku tinggal 10rb.

Kenapa motorta?” “Bocor bannya. Tidak adami juga uangku. Belum datangpi jua ettaku. Keluhku pada Ros. ‘kapan datang?” “mungkin besok datangmi.” Ini uang kita pake dulu. Di berinya aku 50rb”.

Hatiku langsung plong. Tidak lagi bingung. “Ganti ban saja” Kataku. Karena dia tak memiliki ban, maka iapun pergi membeli dengan uang 50 ribu tadi. Aku pulang. Malamnya, motorku ia bawa ke rumah dan mengembalikan sisanya. 25 ribu. Kuberikan ongkos kerjanya 5 ribu. Aku benar-benar tertolong dengan adanya bengkel pak madi. Walaupun hanya bengkel liar. Dan bukan hanya aku saja mendapatkan manfaatnya. Sudah banyak orang yang menggunakan jasanya.

Kudengar , ayahku dari menghadap pak camat untuk mendapatkan isin bengkel pak madi dari mamaku ketika kutanyakan ayahku yang tak nampak. Karena tak melihatnya seharian. Entah bagaimana keputusannya. Aku juga selalu lupa menanyakannya. Padahal, sudah seminggu berlalu.

Saat selesai sholat magrib di masjid, aku tanyakan hal ini pada mamaku yang juga sudah menyelendangkan sajadahnya, mau pulang. “Sudah di isinkan. Sudah disurumi ke sana urus isinnya sama pak camat”. ***





1 Panggilan bapak untuk bangsawan orang bugis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar