tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Kamis, 09 Juli 2009

kenangan (cinta anak pesantren)

Kenangan


Nama : Sahwan.

Panggilan : wawan

keren : wansky

asal : kolaka city

zodiak : libra

hobby : mendengarkan musik, becanda

olahraga favorit : basket ball dan tennis meja

idola : gunawan dan wansky

mission impossible : be the best.

Kesan : pertamaku mengenal dirimu dan tahu siapa namamu.

Aku berhenti sejenak mengambil nafas dengan senyum merekah. Dam mengingat bagaimana aku berkenalan dengannya.

Pesan : bersifatlah bagaikan mawar

pesan dan kesan : jangan mempersulit diri

prinsip : jangan mencoba jatuh cinta kalau belum siap untuk sakit hati.

Aku sudah terbiasa kok sakit hati.

Motto : bantulah temanmu selagi kau dapat melakukannya.

Kata mutiara : walaupun bulan sirna dalam cahaya surya ku yakin sore hari kan sua lagi. Biarlah kelam hati ini untuk sementara.

@remember me only sometimes@

kucoba resapi. Membacanya berulang kali. Mungkin ini sekedar kata kata.

anu

anu saya selalu anu

kalau tidak anu berarti

bukan anu saya

jangan anu anu saya

kalau anu saya anu

nanti anu saya bisa

langsung anu

*jangan fiktor


=dilarang melarang _melarang dilarang bagi yang terlarang.

Ada ada saja. Maksudnya apa sih dengan anu anu.

=berikan aku kesempatan untuk mengukir cita citaku sebelum aku mengukir namamu di hatiku (jangan tersinggung)

=jika ada jarum yang patah jangan disimpan di dalam peti=

catatan: jika ada kata kata yang tidak di pahami tolong cari tahu.Aku menyuruhmu bukan berarti i dont know.

Ada rasa nyeri. Aku ternyata terlalu perasa. Terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kenangan indah waktu pertama mengenalnya yang berlanjut ke acara jalan jalan ternyata tak berarti apa apa buat dia. Dia hanya menganggapku teman.

Tapi dia benar. Jauh-jauh ke makassar bukan untuk mencari pacar. Tapi untuk menuntut ilmu. Mungkin, bukannya dia tak suka padaku. Dia ingin mengukir cita-citanya, sebelum mengukir namaku di hatinya. Mungkin hanya butuh kesabaran. Apalagi, sekarang kami di sma tingkat akhir. Seharusnya belajar. Bukan cari pacar. Tapi, namanya tetap penolakan. Aku benci. Dan aku tak mau bertemu dengannya lagi. Mau ditaruh di mana mukaku?

Kulipat surat itu kembali dan kutaruh di bawah kasur. “Tawwa1. Dapat surat dari Sahwan”. Aku cuma tersenyum kecut mendengar sindiran Vita. Dia sudah tahu pasti. Kalau Sahwan tak suka padaku. Karena lewat dialah surat itu dititipkan. Pastinya sudah di sensor. Aku merasa malu banget. Belangku ketahuan, kalau ngirim surat cinta ke Sahwan beberapa hari yang lalu, lewat kakaknya Fitrah yang satu kampus dengannya, di pesantren Immim.

Kenal Sahwan? Tanyaku waktu itu. “Iya. Dia sekelas denganku.” Aku langsung bersorak dalam hati. Langsung kukeluarkan sebuah surat yang aku simpan dalam kantong bajuku. Lama sudah kurencanakan hal ini. Aku tahu kakak fitrah sering datang ke kampusku mengunjungi adiknya. “Tolong kasi Sahwan ya…. Tapi jangan bilang siapa-siapa.” “iya”

Saat itu menjelang magrib. Kebanyakan santriwati sudah naik ke kamar. Hanya satu persatu yang berkeliaran di halaman kampus. Jadi aman. Tak ada yang tahu bisnisku.

Jelas sudah. Aku di tolak. Tapi aku berusaha tersenyum. Vita memang beruntung. Karena berhasil menggaet Sukri. Teman Sahwan.

***

Perkenalanku dengan santri-santri Immim ini, berawal ketika Nani mau mengunjungi adiknya di Immim pada hari jumat. Karena hari itu adalah libur kami. Aku, Sri, Vita, lastri di ajak serta. Dengan senang hati tentunya. Bisa menikmati udara bebas, melewati pagar besi yang selalu di jaga ketat oleh pak Nandar, satpam kampus kami yang lumayan ganteng. Masih muda. Bahkan, terkadang menjadi gosip di antara teman-teman. Karena berhasil menggaet anak smp kelas 3. Tapi ini secret lo. Kalau ketahuan sama pembina, pasti pak nandar kena marah. Dan juga ketemu cowok-cowok ganteng.

Paginya, Sesuai dengan rencana, kami tak keluar berombongan. Aku dan Vita minta izin ke bank. Nani dan lainnya minta izin ke Immim menjenguk adiknya. Karena ada kiriman uang dari orang tuanya. Dan kami bertemu di persimpangan jalan, jalur pete-pete2 yang menuju ke sentra3l. Semuanya tersenyum kemenangan. Karena berhasil mengelabui pembina kampus.

Kami sampai juga setelah dua kali naik pete-pete. Aku baru kali ini ke Immim. Paling hanya lewat. Dengan ragu-ragu, rombongan kami yang semuanya memakai celana panjang mambo mendekati meja piket dengan senyum menebar pesona pada cowok-cowok yang memperhatikan kedatangan kami.

Cari siapa?” Tanya salah seorang piket.

Mau ketemu sama taslim.” Jawab Nani. Seorang piket langsung mengumumkan lewat pepbesar suara. “Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Taslim. Indaki daef. Ishabiy ila huna. Bissur’ah4.” Tak lama kemudian, nampak seorang cowok datang. Putih, ganteng. Ternyata dia Taslim. Adik nani. Yang duduk di SMP kelas 3.

Beberapa santri yang ada di sana mendekati kami. Kamipun berkenalan. Setelah tahu kalau kami anak pesantren juga, dari pondok madinah, mereka sangat senang. Bisa berbagi pengalaman, tentang kehidupan di pesantren masing-masing, peraturan, pengajaran bahasanya dll.

Yang aku kenal hanya Sahwan dan Sukri. “Kelas berapa?” Tanyaku ke Sukri yang badannya sedikit kurus dan tampang yang baby face. Awalnya kukira anak kelas 1 sma. “Kelas 3.” Jawabnya. tebakanku salah. Tapi ia lebih tinggi dari aku ternyata. Sahwanpun juga anak kelas 3. Lebih pendek dari Sukri. Tapi agak gemukan.Termasuk pendek. Karena kayaknya dia setinggi aku. Padahal tinggiku kan hanya 150.

Orang mana?” Vita bertanya ke Sahwan yang dari tadi cuma senyum senyum. “Saya orang Kolaka.” “Jauh juga ya.” Komentar Vita. “Kalau kamu?” Balik nanya ke Vita. “Saya orang sini.”

Berempat kami bercanda. Kulihat, Nani dan taslim masih cerita dengan teman-teman yang lain. Lastri dan Sri yang duduk tak jauh dari Nani juga dapat kenalan baru. Aku tersenyum pada Sri, saat ia melihat ke arahku. Keinginan tuk kenalan dengan cowok-cowok Immim kesampaian juga.

Sejam kami di sana. Rasanya masih betah. Tapi waktu yang di berikan terbatas. Sekali merengkuh dayung, satu dua pulau terlampaui. Itu yang selalu kami lakukan. Karena kesempatan kami, Sekali sebulan baru bisa keluar minta izin. Kecuali ada keluarga yang datang. Acara selanjutnya, kami akan ke mall jalan-jalan dan makan di kentucky.

Jam 1 siang, kami baru menampakkan diri di depan bu Darlina. Sekarang barengan. Gampang aja nanti bilang ketemu di jalan kalau di tanya macam-macam lagi sama bu Darlina.

***

Sukri, ternyata kepicut dengan Vita. Sukri sering nelfon ke Vita. Begitupun Vita. Pernah, yang terima telfon bu Darlina, dan Sukri mengaku sepupunya. Diapun ditanya tentang keperluannya pada Vita. “Ada pesan dari mamanya.” Kata Sukri. Tentu saja bu Darlina tak percaya. Karena mama Vita yang seorang dokter di sekolah luar biasa yang ada di belakang sekolah, selalu datang menjenguk tiap hari sabtu. Setelah kejadian itu, strategi di ubah. Aku yang jadi kambing hitam. Aku yang dijadikan alasan. Kalau aku dapat telfon, pasti Vita mengikut. Jangan sampai itu telfon dari Sukri.

Suatu hari, Mereka janjian akan ketemu di islamic center, tak jauh dari pesantrenku. Sekolahku memang tergolong strategis. Satu satunya pesantren yang berada di tengah tengah kota yang terletak di jalan sunu 3. Yang membuat kami tak terlalu suntuk.

Anti, temani aku ya ketemu Sukri.” Harapnya padaku. Vita sedikit pembangkang. Sehingga kurang dipercaya sama pembina. Apalagi, sejak bu Darlina menerima telfon terkahir Sukri. Dan juga, ibunya yang seorang dokter selalu datang menjenguk dan berpesan pada Pembina agar ia tak diizinkan terlalu sering keluar. Aku yang memang jarang minta izin, karena selalu izinkan diri sendiri, menjadi harapannya, agar aku menemaninya keluar.

Bu. Mau minta izin ke atm.” Ucapku dengan nada ragu-ragu pada bu Darlina, istri kepala kampusku sekaligus pembina. Karena suaminya lagi keluar. Takut ketahuan bohong. Matanya menatapku dengan penuh selidik. “Dengan siapa?” Aku lega. Berarti di izinkan. “Sama teman bu.” Kuserahkan kartu kuningku, karu izin keluar. Tanggal berapa keluar jam berapa dan tujuannya apa. Kartu ini untuk mengontrol izin siswa. Aku aman-aman saja. Karena di situ izin terakhirku sebulan yang lalu. Walau aku telah keluar kampus hampir setiap minggu.

Selesai shalat ashar, akupun berangkat dengan becak. Vita nampak berbunga-bunga. Memang sih belum jadian. Seringnya Sukri nelfon kalau malam membuatnya yakin. Kalau Sukri cinta padanya.

Sudah sejam aku dan Vita duduk menunggu di halaman masjid. Tapi Sukri tak kunjung tiba. Sekarang sudah jam 5. “Kita pulang saja ya.” Pintaku pada Vita. Aku merasa, ia tak akan datang. Mungkin tak mendapat izin. Peraturan di sana kan lebih ketat. “Tunggu 10 menit lagi.” Ia tetap bertahan. Ia pasti datang.

15 menit berlalu. Mata kami yang terus menghadap ke jalan raya, mengamati setiap pete-pete yang lewat. Setiap ada yang singgah, pasti mata kami langsung jelalatan.

Pulang yuk”. Vita menyerah. Mengikuti langkahku.

Vita!” Sebuah panggilan yang membuatku terhenti. Sukri berjalan ke arah kami, di temani dengan seseorang, kulit hitam manis dengan rambut jatuhnya. Sahwan. Hatiku berdetak. Dag dig dug. Senang. karena dialah yang selama ini aku khayalkan. Sejak pertemuan pertama di Immim.

Sukri berjalan dengan Vita, diikuti oleh aku dan Sahwan di belakangnya beberapa meter menyusuri trotoar.

Walau baru 2 kali ketemu dengan hari ini, aku langsung akrab dan tambah suka padanya. Akupun merasa begitu.

Sejak itu, aku selalu merindukannya. Akupun dengan senang hati berbohong sama pembina atau bahkan lari dari kampus tanpa izin lewat belakang sekolah, demi Sahwan. Kadang juga Sukri dan Sahwan yang ke kampusku bersama salah seorang temannya, yang punya adik di kelas satu smp. Kucing kucingan pun terjadi antara kami dan pembina. Kami berusaha sewajar mungkin bercerita seolah-olah Tidak kenal. Padahal tiap minggu kami selalu ketemu.

Vita telah jadian dengan Sukri. Aku kini yang merasa tergantung. Sahwan suka padaku apa tidak? Tapi kebersamaanku selama ini memantapkanku untuk mengungkapkan perasaanku lebih dulu. Sebenarnya bukan surat cinta. Hanya sebuah surat yang berisi biodataku, kata kata mutiara kesan dan pesan. Setidaknya, itu akan memberinya sinyal, kalau aku mencintainya. Sehingga ia tak akan ragu tuk mengungkapkan cintanya padaku.

***

Aku yang terlalu melambung. Sehingga jatuhnyapun terasa sakit. Aku langsung mengurung diri. Tak keluar kampus selama berminggu-minggu sejak kedatangan surat itu. Vitapun tak pernah lagi mengajakku. Ia masih sering keluar, tapi entah dengan siapa. Aku tak pernah peduli. Untungnya ia tak sekamar denganku. Sehingga, aku tak perlu mendengar cerita serunya bersama dengan Sukri ataupun Sahwan yang katanya jadian dengan sepupunya. Yang menambah luka hatiku. Dan Untuk melupakannya, aku tenggelam dalam pelajaran. Membaca buku-buku pelajaranku yang selama ini terbengkalai gara-gara Sahwan.

Cinta terkadang memang sakit. Tapi dari sakit itu aku tak menjadi lemah. Malah menjadikan semangatku bangkit tuk berbuat yang terbaik. Sebagai pembuktian, kalau aku memang pantas di cintai.

Aku berusaha tuk melupakannya.Tapi Sahwan masih sering muncul di hadapanku. Datang bersama dengan temannya.

Deg!” Aku langsung salah tingkah saat membuka pintu pagar saat giliranku piket malam dengan pakaian pramuka. Aku cuma tersenyum kecut padanya dan mempersilahkan ia masuk. Senangnya hatiku. Seandainya kedatangannya untuk menemuiku. Tapi tak mungkin.

Walau hanya sempat bertemu pandang, tapi cukuplah melepaskan rasa rinduku padanya. Menimbulkan secercah harapan. Karena bagaimanapun, rasa itu masih menggelayut di hatiku.

Tak seorangpun tempatku curhat. Aku malu. Aku merasa, aku memang tak pantas jatuh cinta. Aku tak cantik. Aku tak juga kaya. Apalagi dari cerita Vita, Sahwan itu orang kaya. Orangtuanya punya toko bata di sulawesi tenggara. Aku hanya anak petani dari desa, yang harus menyesuaikan diri dengan anak anak kota dengan segala kemewahan. Untungnya aku sadar diri, sehingga aku tak terlalu terbawa arus.

Akhirnya sakit hatiku terobati. Bukan karena dapat Sahwan menerima cintaku atau aku dapat pacar baru. Tapi, perjuanganku selama berhari hari, belajar siang malam, mengurung diri di kamar membuahkan hasil.

Tak aku sangka. Aku lulus dan mendapatkan nilai tertinggi. Murni. Tanpa ada bantuan dari siapapun saat Ujian Nasional. Dan aku mendapatkan predikat siswa teladan.

Nani yang selama ini selalu menjadi rangking 1, malah hanya di peringkat 3. Pasti dia kecewa. Karena posisinya tergantikan saat terakhir.

***

Waktu memang cepat berlalu. Kenangan itupun telah terkubur. Aku bahkan lupa dengan wajahnya.

Hi anti”. Di kampus IAIN, hari keduaku, ternyata bukan hanya Sri dan Rahma yang mengenalku. Aku baru berbalik setelah Sri berkata di panggil tuh. Seorang cowok yang lagi duduk di tembok menyapaku. Tapi aku tak tahu yang mana. Karena ada 3 orang. “Sahwan”. Kata Sri. Sahwan? Aku berusaha mengingat. “Sahwan. Yang anak IMMIM”. O...Aku kembali berbalik. Salah seorang dari mereka tersenyum. Raut mukanya mulai ku kenal. Ya. Iya Sahwan. Akupun membalas senyumnya dan berlalu. Aku jadi malu sendiri. Karena semua teman sekelasku dulu tahu masalah ini dulu. Aku tak menyangka. Bisa ketemu dengannya di sini. Pasti ia akan cerita ke teman temannya. Kalau aku pernah di tolaknya.

Hi anti”. Sapanya dengan ramah saat aku kembali lewat di depannya. dia lagi duduk di tembok depan ruangannya di temani seorang teman. Ternyata dia melihatku. Aku cuma menoleh dan tersenyum. FAK. Syariah dan ADAB gedungnya berdekatan. Dan kalau mau ke UKM seni, aku selalu lewat gedung syariah, jurusan Sahwan di kampus ini. Aku selalu ke UKM seni Budaya Esa, organisasi pertama yang aku masuki saat masuk k kampus ini. Karena aku memang suka music. Apalagi, studionya punya alat music yang lengkap. Keyboard adalah favoritku. Aku ingin sekali piawai bermain keyboard, makanya, setiap nggak ada kuliahan, pasti aku ke sana.

Senang juga sih, ia selalu menyapaku. Dan aku juga ingin menyapanya seperti dia menyapaku. Tapi mulutku tak bisa berkata apa-apa. Aku selalu terbayang-bayang dengan kenangan masa lalu yang memalukan sekaligus menyakitkan. Sakit itu memang telah sirna. Tapi, rasa malu tetap ada.

Singgah!”. Menyapanya ketika ia lewat depan UKM. Tempat aku nongkrong dan mengasah bakat seniku. Dia juga membalasnya dengan senyum. Kumulai menata hatiku dan menampik segala kenangan dulu. Lets gone by gone. Yang berlalu biarlah berlalu. Aku tak tahu, apa maksud sapaannya setiap kali aku berpapasan yang hanya selalu ku jawab dengan senyum atau hi juga. Atau, inikah maksud dari suratnya yang dulu? walaupun bulan sirna dalam cahaya surya ku yakin sore hari kan sua lagi. Biarlah kelam hati ini untuk sementara.





1 Ungkapan bangga.

2 Angkutan kota

3 Pusat perbelanjaan

4 Taslim ada tamunya. Ke sini cepat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar