tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Rabu, 10 September 2014

Kebangkrutan awal dari kesuksesan

"Didi ambil kredit di bank A. Dapat 165 juta".
"Ha! Iyyaka?"
Yang mendengarnya kaget. Dia kan masih golongan 3c. Masa bisa ambil segitu banyaknya.
" tanya' mako Didik kalau ndak percayako...". Lanjut Ridwan lagi.
Kalau ia saja yang golongan 3c bisa ambil 165 juta, berarti aku bisa ambil banyak juga. 150 juta.

Aku jadi semangat lagi mau pindah ke bank A. Aku sekarang di bank. Tahun lalu ambil 135 juta. Setahun empat bulan berlalu, aku menanyakan jika mau di lunasi. 132 juta.hanya berapa juta saja yang terbayar?  Kalau di bank b, setahun cicilan, kokan lagi dengan jumlah yang sama, pasti masih ada sisanya.

Dulu, aku ke bank A, karena bank b tak bisa ambil kredit banyak. Jangka waktunyabhanya sampai 8 tahun. Kalau sekarang sudah bisa 10 tahun.

Dengan semangat 45, aku ke bank B tuk menanyakan. "Bawa ampra tunajanganx supaya bisa  dihitungkan berapa yang saya bisa ambi". Aku cuma bawa ampra gaji.

Kupulang dengan rasa senang. Akhirnya, aku bisa juga lepas dari bank B kalau ini benar-benar bisa cair. Sudah 14 bulan. Tapi yang berkurang haya sedikit saja.

Sebenarnya, kalau di lunasi sampai 10 tahun, tak ada ruginya. Hanya saja .... siapa tahan??? Melihat teman-teman bergembira dengan utang barunya.

Promosi bank c yang menurunkan suku bunga dengan pengambilan bisa lebih banyak dari bank A, membuat para guru beramai-ramai pindah bank dan menambah utang lagi. Bank A kehilangan banyak nasabah gara-gara bank c.

Bank a tak mau membiarkan hal ini terjadi. Ia putar otak. Ia juga menurunkan suku bunga dan memperbaiki layanannya. Ia memburu nasabah. Hari pertama aku ke sana tuk menanyakan berapa bisa saya ambil, ia bilang bawa ampranya saja dulu. Soal pengambilan berapa mau di ambil, akan di atur nanti.

Aku ke sekolah. Mempromosikan bank A yang bisa ambil banyak. "Ayo kokan...!!! Bisa ambil banyak lo bu..."
Hasutku pada bu sum. " tidak ah!" Tolaknya. Kujelaskan ke taman-teman yang lainnya tentang bagusnya bank A. Tentang bunganya yang rendah dan bisa di kasi banyak. Biar punya teman sepenanggungan dalam utang mengutang. He...he...he...

"Ayo tambah utang, teman! Banyak utang banyak rejeki". Kadang aku bercanda jika sudah berbicara tentang utang. Tentang cicilan ini itu. Teman-temanpun menyembutnya dengan tawa. "Kenapa si bisa?" Protes dengan propaganda yang kuluncurkan. "Kalau bayak utang, kita pasti semangat untuk kerja. Cari tambahan. Itu berarti bayak rejeki kan?" Tawa mereka semakin merekah. Membenarkan. Walau kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa aku pikirkan. Kayaknya otakku sudah sangat familiar dengan kata-kata utang. Tahu, apa yang aku lakukan demi membayar utang-utangku.

Utang-utang yang banyak, dan uang sudah semakin menipis.... otakku akan berfikir keras, "apa yang bisa kulakukan agar menghasilkan uang?"  Suamiku yang jadi pelampiasan jika aku tak bisa mengerjakannya. Aku suruh dia tanam lombok. Kalau tak di respon, aku langsung beli bibitnya. Aku mau tanam merica  ia tak merespon. Akupun langsung membeli beberapa bibit dari bu gus. Mau tak mau, ia harus menanamnya. "Sayang kalau tak di tanam. Kan di beli". Katanya.

Sekarang, suamiku lagi giat-giatnya tanam lombok. Yang dahulu sudah tua dan banyak yang mati. Wajar. Sudah setahun lebih. Hasilnya pun lumayan. Saat tak ada pembeli beras, ia jadi penolong. Selesai petik, langsung jual. Hampir tiap minggu di petik. Menjelang hari raya, kami akan sangat senang. Karena harga lombok kadang meroket sampai 30 rb. Pernah sekali, ibuku menjual hanya 20 kg 600 rb. Pas lagi mau hari natal dan tahun baru. Senangnya..... tak sia-sia aku menanam lombok. Apalagi, harga lombok mahal. Paling murah 8 rb. Harga stabilnya 15 rb.

Aku juga menanam pepaya di pinggir-pinggir kebun. Saat panen lombok, aku juga tak lupa memetik pepaya tuk skalian. Biarpun harganya murah, 1000 perbiji kalau kecil, besar 2000, tapi lumayan tuk pembeli tomat.

Mericaku? Sudah berbuah. Minggu lalu, sudah ada tiga tangkai yang di bawa suamiku sebagai bukti. Buah pertama yang masak. Tiap ke kebun, aku pasti memeriksa setiap tangkai, jangan sampai ada yang merah biarpun cuma 1 biji, tapi tak pernah kutemukan. Akhirnya.... penantianku selama ini... sudah berakhir. Berarti tak lama lagi aku akan panen merica! 1 kg, 100 ribu lo.....

Kembali ke masalah kokan tadi.
Bu sum mendekatiku dan meminta kembali penjelasanku tentang kokan tadi, yang bisa ambil banyak.
"Mauka' juga deh". Ucapnya sambil tersenyum
"Kena' lagi !" Teriak bu has diiringi dengan tawa.
"Kayaknya belum ada 1 jam tadi dia bilang ndak mau. Eh.. sekarang mau". Kataku pada yang lainnya. Tawa pun berderai.

"Usaha apa lagi, mau kokan?" Tanya bu dar. "Raja kokan". Cap teman-teman padaku. Soalnya tiap tahun urus kokan terus.
"Usaha apa saja. Yang penting halal".
"Bagaimana usaha warnetnya"? Sambungnya lagi.
"Alhamdulillah...... bangkrut".
Tawa kembali bergema mendengar pengakuanku.
Tahun lalu aku kokan tuk membuat hotspot. Modalnya sekitar empat juta lebih. Kalau di hitung-hitung, tak ada untungnya. Kampung. Jadi voucer tak terlalu laris. Tapi... adalah kadang-kadang. Minimal, aku bisa online sendiri tanpa harus ke warnet. Soalnya, hidup tanpa online, seperti sayur tanpa garam, seperti langit tanpa bintang, seperti wajah tanpa jerawat. He... he... he...
Kalau bukan facebookan, twiteran, browsing....aku palingan main game.

Aku tak pernah berhenti untuk mencari cara agar bisa punya uang.

Di sekolah, bu rosi jual nuget, arem-arem, atau nasi bakar. Bu Sum jual baju gamis, Bu Eni jual jilbab, bu Aty jual sayur yang dikirim ibunya dari Enrekang. Aku? Mau jual apa ya.......

Aku ingin.....menjual sesuatu. Tapi apa ya?

Oh iya. Saat ke Mayoa, aku diajar membuat keripik bawang pedas manis dari tepung terigu. Caranya sangat mudah. Rasanya pun enak. Tak ada yang tak menyukainya.

Pertama, cuma membuat setengah kg tepung terigu. Hasilnya ada Enam bungkus.

Menjual untuk pertama kali, adalah hal yang paling sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar