tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Rabu, 03 September 2014

Bukan Pelanggan Setia

Bukan pelanggan setia

Pagi-pagi kudengar suara hpku berbunyi. Entah di mana. Oh iya. Kemarin aku simpan di ruang tamu, di atas meja saat selesai terima telfon dari suamiku. Itu pasti dari dia lagi. Pagi-pagi nelfon. Tuk membangunkanku dari kejauhan. Tau aja kalau aku belum bangun.
Pastilah. Dia ada di rumah saja, aku selalu di bangunkan tuk sholat subuh. Itupun tak langsung bangun. Kalau ia tak menakut-nakuti aku biasanya tak beranjak.
"Sudah maumi jam tujuh he.... bangun maki sayang....." memanggilku yang masih dalam kelambu berselimut.
Kalau mendengar kata-kata jam 7 aku langsung kaget biasanya. "Ha! Sudah jam 7?" Buru-buru kubuka mataku dan langsung bangun. Mimpi indahku terputus.
"Katanya sudah jam 7. Tuh baru jam enam lewat". Aku marah padanya dengan menunjukkan muka seram. Sambil mencubitnya. bercanda. Ia tahu itu. "Kan nanti jam 7 juga". Katanya tersenyum. Karena berhasil mengelabuiku tuk bangun cepat. Tapi sejak aku menjual kue di sekolahan, aku jadi rajin bangun. Tapi tetap di bangunkan. Hanya tak lagi menunda-nunda tuk bangun.

Ku liat nama yang muncul di layar. "Nawar". Betulkan. Suamiku. Siapa lagi kalau bukan dia. "Siapa sih ini. Ganggu saja orang tidur". Candaku. Pura-pura tak kenal. "Jalangkotenya sudah di goreng sayang?" Tanyanya.
Oh iya... tadi malam aku bikin jalangkote. Sebenarnya agak malas membuatnya. tapi.... itung-itung lumayan tuk pembeli bensin. Sudah beberapa hari ini aku memang mulai lagi menjual walau sempat berhenti gara-gara sakit sakit kepala. Ke dokter, katanya normal tekanan darahnya. Periksa kolesterol juga aman. Jadi bingung. Karena kepalaku kayak berat. Tak sakit. Kurasakan detak detak urat syaraf ku. Tak bisa tidur.
Kubaca di internet, aku kira aku terkena  tension headache. Tak bisa tidur. Sakit kepala karena kelelahan. Benar.... aku memang kelelahan gara-gara bikin donat dan jalangkote sampai larut malam, pagi-pagi bangun tuk goreng jalangkote nya dan menaburi donatku dengan seres. Di sekolah ngajar sampai jam dua lalu lanjut lagi ngajar les anak kelas tiga. Tak ada kesempatan tuk tidur siang. Sedang aku tuti. Tukang tidur.

Pola hidup yang berubah drastis membuatku sakit. Akhirnya aku berhenti menjual.

"Kenapaki tidak menjual jalangkote lagi?" Teman-teman selalu bertanya.  "Capek....". Kataku lesu. Aku tak ingin sakit kepala seperti itu lagi.
Jalangkote juga sudah ada di kantin mama erin sejak aku berhenti menjual. Malah jalangkotenya enak. Karena masih panas.

Kini mama erin sudah tak lagi menjual di sekolah. Ia pergi. Karena rumahnya di sita oleh bank karena tak mampu bayar kredit. Kasiannnn..... aku tahu perasaannya bagaimana. Malu! Aku tahu rasanya. Karena rumahku dulu pernah di semprot oleh pegawai bank. Tapi tulisan itu akan ayahku hapus kalau pegawainya pergi. Malu!

Sambil menerima telfon, aku kebelakang rumah menuju kandang ayam tuk memberinya makan. Kudengar ayamku berkotek-kotek, sendiri,kelaparan. Sebenarnya ada dua. Jantan dan betina. Yang jantannya entah ke mana. Aku lepas. Tapi betinanya aku kurung. Karena ayam petelur. Lumayan. Tak perlu lagi beli telur ayam ras. Dulu banyak. Ada 8 dengan ayam warna- warni.tapi yang warna-warni semuanya jantan. Setelah 7 bulan baru badannya besar. Tak seperti ayam potong yang di jual di pasar. Baru sebulan sedah gemuk-gemuk. Aku potong saat lebaran idul firti. Hanya dua yang aku sisakan. Biar ada temannya yang ayam ras. Biar tak kesunyian.

Sudah jam berapa ya. Jalkotku kan belum ku goreng. "Sudahmi dulu na daeng. Maumaka goreng jalkotku" sambil memberi makan tadi, aku tetap telfon-telfonan, cerita tentang ayamku.

Hanya dua puluh buah yang aku buat. Soalnya kalau kebanyakan kadang kembali. Kalau suamiku ada, itu akan menjadi tugasnya tuk di babat habis. Lagian kalau tiap hari ada yang kembali, Bisa tekor dong aku nanti.

"Lomboknya tidak terlalu pedis, ba!". Protes pak yatno. Sudah dua kali ia komplain seperti itu. "Kemarin sudah kukasi pedis sekali pak. Tapi kita tidak beli. Malah kemarin pak Syah hanya makan satu karena katanya terlalu pedis". Padahal dia pelanggan setia. Tiap hari beli. Minimal makan dua buah jalangkote, satu donat." Lagian, kita juga bukan pelanggan setia pak. Seandainya pelanggan setia mungkin aku buatkan sendiri satu botol yang sangat pedis". Candaku. Yang mendengarnya langsung tertawa. Mendengar ucapanku yang ceplas ceplos.

Selalu ada saja komentar tentang jalangkote buatanku. Kadang ada yang bilang, terlalu asin, terlalu kecil, terlalu kecut (lomboknya)... di terima saja dengan lapang dada. He he he. Sebuah koreksi akan memberikan kesempurnaan, walaupun hati terkadang merasa merana mendengar semua itu.

"Terima saran tawwa". Saat bu Has melihat jalangkoteku. Aku tak paham. "Maksudnya?" "Ini! Jalangkotenya sudah besar", sambil mencomot jalangkote buatanku. Aku cuma tersenyum mendengar pujiannya. Dia adalah pelanggan setiaku. Jadi harus di follow up komplainnya.

"Bu, Bia!" Aku berbalik mendengar panggilan bu Dar Sambil membuka mulut. Melongo. Menunggu kelanjutan ucapannya. "Enak ba jalangkotenya lagi ini". Alhamdulillah.
He he he...senang juga mendengarnya. Walau sebenarnya aku ragu dengan rasanya tadi malam. Sampai berkali-kali harus ku coba.

Lidah orang tak semua sama. Kadang aku buat donat, yang menurutku kurang bagus, eh... ternyata ada yang suka. "Yang seperti ini saya suka". Yang lain malah bilang, "tidak enak seperti kemarin". Aku kira pas rasanya, katanya "terlalu asin". Yang lain bilang...  "kurang asin".

Mau ikut yang mana? Bingung!
Yang pastinya, suara terbanyak dan pelanggan setia selalu jadi prioritas.***040914

Tidak ada komentar:

Posting Komentar