tiket pesawat murah

tiket pesawat murah

Rabu, 10 September 2014

Kebangkrutan awal dari kesuksesan

"Didi ambil kredit di bank A. Dapat 165 juta".
"Ha! Iyyaka?"
Yang mendengarnya kaget. Dia kan masih golongan 3c. Masa bisa ambil segitu banyaknya.
" tanya' mako Didik kalau ndak percayako...". Lanjut Ridwan lagi.
Kalau ia saja yang golongan 3c bisa ambil 165 juta, berarti aku bisa ambil banyak juga. 150 juta.

Aku jadi semangat lagi mau pindah ke bank A. Aku sekarang di bank. Tahun lalu ambil 135 juta. Setahun empat bulan berlalu, aku menanyakan jika mau di lunasi. 132 juta.hanya berapa juta saja yang terbayar?  Kalau di bank b, setahun cicilan, kokan lagi dengan jumlah yang sama, pasti masih ada sisanya.

Dulu, aku ke bank A, karena bank b tak bisa ambil kredit banyak. Jangka waktunyabhanya sampai 8 tahun. Kalau sekarang sudah bisa 10 tahun.

Dengan semangat 45, aku ke bank B tuk menanyakan. "Bawa ampra tunajanganx supaya bisa  dihitungkan berapa yang saya bisa ambi". Aku cuma bawa ampra gaji.

Kupulang dengan rasa senang. Akhirnya, aku bisa juga lepas dari bank B kalau ini benar-benar bisa cair. Sudah 14 bulan. Tapi yang berkurang haya sedikit saja.

Sebenarnya, kalau di lunasi sampai 10 tahun, tak ada ruginya. Hanya saja .... siapa tahan??? Melihat teman-teman bergembira dengan utang barunya.

Promosi bank c yang menurunkan suku bunga dengan pengambilan bisa lebih banyak dari bank A, membuat para guru beramai-ramai pindah bank dan menambah utang lagi. Bank A kehilangan banyak nasabah gara-gara bank c.

Bank a tak mau membiarkan hal ini terjadi. Ia putar otak. Ia juga menurunkan suku bunga dan memperbaiki layanannya. Ia memburu nasabah. Hari pertama aku ke sana tuk menanyakan berapa bisa saya ambil, ia bilang bawa ampranya saja dulu. Soal pengambilan berapa mau di ambil, akan di atur nanti.

Aku ke sekolah. Mempromosikan bank A yang bisa ambil banyak. "Ayo kokan...!!! Bisa ambil banyak lo bu..."
Hasutku pada bu sum. " tidak ah!" Tolaknya. Kujelaskan ke taman-teman yang lainnya tentang bagusnya bank A. Tentang bunganya yang rendah dan bisa di kasi banyak. Biar punya teman sepenanggungan dalam utang mengutang. He...he...he...

"Ayo tambah utang, teman! Banyak utang banyak rejeki". Kadang aku bercanda jika sudah berbicara tentang utang. Tentang cicilan ini itu. Teman-temanpun menyembutnya dengan tawa. "Kenapa si bisa?" Protes dengan propaganda yang kuluncurkan. "Kalau bayak utang, kita pasti semangat untuk kerja. Cari tambahan. Itu berarti bayak rejeki kan?" Tawa mereka semakin merekah. Membenarkan. Walau kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa aku pikirkan. Kayaknya otakku sudah sangat familiar dengan kata-kata utang. Tahu, apa yang aku lakukan demi membayar utang-utangku.

Utang-utang yang banyak, dan uang sudah semakin menipis.... otakku akan berfikir keras, "apa yang bisa kulakukan agar menghasilkan uang?"  Suamiku yang jadi pelampiasan jika aku tak bisa mengerjakannya. Aku suruh dia tanam lombok. Kalau tak di respon, aku langsung beli bibitnya. Aku mau tanam merica  ia tak merespon. Akupun langsung membeli beberapa bibit dari bu gus. Mau tak mau, ia harus menanamnya. "Sayang kalau tak di tanam. Kan di beli". Katanya.

Sekarang, suamiku lagi giat-giatnya tanam lombok. Yang dahulu sudah tua dan banyak yang mati. Wajar. Sudah setahun lebih. Hasilnya pun lumayan. Saat tak ada pembeli beras, ia jadi penolong. Selesai petik, langsung jual. Hampir tiap minggu di petik. Menjelang hari raya, kami akan sangat senang. Karena harga lombok kadang meroket sampai 30 rb. Pernah sekali, ibuku menjual hanya 20 kg 600 rb. Pas lagi mau hari natal dan tahun baru. Senangnya..... tak sia-sia aku menanam lombok. Apalagi, harga lombok mahal. Paling murah 8 rb. Harga stabilnya 15 rb.

Aku juga menanam pepaya di pinggir-pinggir kebun. Saat panen lombok, aku juga tak lupa memetik pepaya tuk skalian. Biarpun harganya murah, 1000 perbiji kalau kecil, besar 2000, tapi lumayan tuk pembeli tomat.

Mericaku? Sudah berbuah. Minggu lalu, sudah ada tiga tangkai yang di bawa suamiku sebagai bukti. Buah pertama yang masak. Tiap ke kebun, aku pasti memeriksa setiap tangkai, jangan sampai ada yang merah biarpun cuma 1 biji, tapi tak pernah kutemukan. Akhirnya.... penantianku selama ini... sudah berakhir. Berarti tak lama lagi aku akan panen merica! 1 kg, 100 ribu lo.....

Kembali ke masalah kokan tadi.
Bu sum mendekatiku dan meminta kembali penjelasanku tentang kokan tadi, yang bisa ambil banyak.
"Mauka' juga deh". Ucapnya sambil tersenyum
"Kena' lagi !" Teriak bu has diiringi dengan tawa.
"Kayaknya belum ada 1 jam tadi dia bilang ndak mau. Eh.. sekarang mau". Kataku pada yang lainnya. Tawa pun berderai.

"Usaha apa lagi, mau kokan?" Tanya bu dar. "Raja kokan". Cap teman-teman padaku. Soalnya tiap tahun urus kokan terus.
"Usaha apa saja. Yang penting halal".
"Bagaimana usaha warnetnya"? Sambungnya lagi.
"Alhamdulillah...... bangkrut".
Tawa kembali bergema mendengar pengakuanku.
Tahun lalu aku kokan tuk membuat hotspot. Modalnya sekitar empat juta lebih. Kalau di hitung-hitung, tak ada untungnya. Kampung. Jadi voucer tak terlalu laris. Tapi... adalah kadang-kadang. Minimal, aku bisa online sendiri tanpa harus ke warnet. Soalnya, hidup tanpa online, seperti sayur tanpa garam, seperti langit tanpa bintang, seperti wajah tanpa jerawat. He... he... he...
Kalau bukan facebookan, twiteran, browsing....aku palingan main game.

Aku tak pernah berhenti untuk mencari cara agar bisa punya uang.

Di sekolah, bu rosi jual nuget, arem-arem, atau nasi bakar. Bu Sum jual baju gamis, Bu Eni jual jilbab, bu Aty jual sayur yang dikirim ibunya dari Enrekang. Aku? Mau jual apa ya.......

Aku ingin.....menjual sesuatu. Tapi apa ya?

Oh iya. Saat ke Mayoa, aku diajar membuat keripik bawang pedas manis dari tepung terigu. Caranya sangat mudah. Rasanya pun enak. Tak ada yang tak menyukainya.

Pertama, cuma membuat setengah kg tepung terigu. Hasilnya ada Enam bungkus.

Menjual untuk pertama kali, adalah hal yang paling sulit.

Selasa, 09 September 2014

Penyakit yang bikin sehat

Entah apa nama penyakitku. Kadang kata-kataku terbalik. Mau bilang cepat.. yang keluar lambat. Mau bilang besar... eh ku bilangnya kecil. Maksudnya kanan, eh yang kiri kutunjukkan.

Awalnya... aku kira karena umur semakin tua, memori sudah tak lagi muat menerima segala hal-hal baru sehingga membuat otakku agak acak.

Jika berbicara dengan suamiku dalam bahasa bugis, aku lancar. Tapi ia sering menertawaiku. Katanya bahasaku kurang tepat. Walaupun maknanya sama. Menurutku. Tapi.... kalau orang lain yang mendengarnya.... palingan mereka mengira, karena aku jarang berada dalam komunitas orang bugis.  Sehingga bahasa bugisku kacau. He... he.... he....

Pulang jam setengah tiga, membuat para guru selalu membawa bekal. Apalagi seperti aku. Rumahnya jauh, 17 km dari sekolah jadi sampai di rumah sekitar jam 3. Setengah jam perjalanan.

Aku biasanya cuma bawa nasi. Hari selasa. Ada pasar yang aku lewati. Tinggal beli lauk 2000 rupiah, sudah sangat banyak.
"Urap, paria, sama mie nya bu...2000"  pesanku saat sudah berada di depan si penjual masi kuning yang juga menjual lauk dan sayur. "Mau jengkol?" Memperlihatkan jengkol ada yang ada dalam mie. Aku tak suka jengkol. Bukan karena bau menyengat yang di hasilkan, tapi rasanya memang aku tak suka. Walau kata bu Erni, "memang kalau pertama. Tapi lama kelamaan, jadi enak".
"Kasi saja bu". Nanti teman yang makan. Pesanankupun dibungkusnya dalam sebuah kantongan putih. Banyak. Lebih dari cukup. "Mau sayur juga?" "Iya, bu". Sambil berfikir, " Sayurnya gratis nggak ya?" Aku kan cuma mau beli 2000. Stelah kutanyakan, katanya di gratiskan. Sudah mau pulang.
Memang sih . sudah siang. Sudah jam 9. Dagangannya sisa sedikit. Malah waktu aku datang, ia lagi berbenah. Aku pelanggan terakhir nampaknya.
"Kayaknya bagus ni beli di saat penjualnya sudah mau pulang. Bisa dapat bonus banyak. He... he.. he..."

Kukeluarkan bekalku saat sampai di sekolah. "Kayaknya datang ke sekolah tuk makan aja, ya..."
Aku ngajarnya jam 1. Masih lama. Mendingan makan-makan aja dulu. Kupanggil teman-teman yang lagi ada di ruang guru tuk menikmati bekalku. Melihatku membawa lauk yang banyak mereka pun mendekat. Nasiku cuma sedikit. Namun itu tak membuatku minder memanggil mereka. Sedikit ataupun banyak, tak pernah jadi masalah. Makan bareng. Walaupun cuma dapat dua suap. Empat orang yang bawa bekal, tiap orang dapat dua sendok, kan sudah dapat 8 sendok. He....3x. Sudah kenyang kan?

"Apa ini?" Tanya bu mar. "Jengkol". Kataku. "Ndak mauka saya makan jengkol. Mauka masuk mengajar. Nanti bau". Katanya sambil mengambil sayur urap dari kantongan lalu memasukkan ke dalam mulutnya.
Jengkol yang tadi ia tolak keberadaannya  akhirnya berlabuh juga di tenggorokan bu Mar."masih lama jika mengajar. Hilangmi itu baunya kalo masuk maka mengajar". Mungkin merasa sayang kalau jengkol itu di buang saja. Karena tak ada yang menyentuhnya. Cuma di lempar kiri kanan oleh jari-jari teman di dalam kantongan jika mendapatkan jengkol.

Cuaca mendung membuatku tak sadar, kalau jam mengajarku telah tiba. Sudah jam 1 lewat 5 menit. Akupun siap-siap. Mengambil absen, buku, tak lupa tabletku.

"Eh... masih bau jengkol, ndak?" Bu mar mendekati bu has lalu ke arahku,  menyuruh kami mencium bau jengkol dari mulutnya sambil menganga, dan menghembuskan nafasnya. Dia juga mau masuk mengajar. Takutnya bau jengkol membuat siswa pingsan. He... he... he...

"Ndak ada ji kudengar".
Jawabanku membuat bu Has dan bu mar tertawa keras. "Ha  ha ha".
Apa yang salah? "Masa bau mau di dengar. Ha....ha...ha...." aku baru menyadari kesalahanku setelah bu mar meledekku. Ia juga ya. Harusnya kan "ndak adaji kucium".
"Salah lagi, deh....." penyakitku kambuh.
Aku tak mau kalah. Kukeluarkan jurus mautku tuk meledeknya juga.
"Ndak adaji kudengar baunya. Hanya tai lalat yang kuliat di gigi ta".
"Ha ha ha". Otomatis semua tertawa. Mungkin di kiranya aku bercanda. Penasaran. Bu mar pun ke cermin menyelidiki giginya.
" bagaimana? Ada to" kataku dengan senyum kemenangan. "Iya". Spontan semua pun tertawa. Pasti sayuran yang menempel. Karena warnanya hijau. " kena' ko lagi". Kata bu has ke bu mar.

Sudah sering aku salah seperti itu. Iseng-iseng googling, kayaknya aku terkena penyakit disleksia. Kadang salah dalam mengucapkan kata. Tapi tak terlalu parah.

Biarlah.... yang penting penyakitnya bikin sehat. Bisa membuat orang tertawa dan awet muda.

Minggu, 07 September 2014

Tipuan kamera

Aplikasi 360 lagi jadi favorit tuk di download oleh teman-teman.

Aplikasi itu membuat teman-teman Pd melihat fotonya. "Aku jadi putih!". Komen bu Has. "Flek flekku jadi ndak keliatan". Pujinya lagi. Kulitnya memang sawo matang. Sejak melahirkan anak pertamanya,  flek-flek hitam bermunculan. Yang paling menjengkelkan, flek yang muncul di bawah hidungnya seperti kumis. Membuatnya tanya kiri kanan tuk memusnahkannya.

Sudah hitam (hampir jadi sawo hangus), berkumis lagi!
Keluhnya.

Ia sudah beli bedak harga 150 rb. Lumayan... ada sedikit perubahan. Flek di pipi agak mendingan. Tapi kumis belum juga luntur. Masih menempel dengan setianya.

"Pake' madu kalo malam". Saran baru, yang langsung di praktekkan malamnya.

Ah..... tak pupus juga sampai habis. Adakah yang tau cara menghilangkan flek di wajah sampai tuntas?

"Cantiknya!" Ia menatap foto hasil jepretan 360. Mulussss.... ia langsung menjadikanya sebagai foto profil bbm.

"Tambah cantik aja...."
Sebuah pesan bbm masuk dari bu Nur.
"Itu hanya tipuan kamera, say....". Balasnya. Ia senang. Bisa cantik dan putih meski hanya sebatas foto.
"Kayaknya hidup penuh dengan tipuan..." balasan dari pesannya.
Ha ha ha.... dia tertawa sendiri melihat pesan itu. Benar juga.

"Just kidding...." tulis bu Nur lagi. Takut Bu Has marah atau tersinggung.

Sabtu, 06 September 2014

Tak seindah kenyataan

Si putih kehilangan suaranya. Saat menjelang subuh, tak lagi terdengar suaranya yang lantang yang kadang membuat iri para pejantan tangguh di seberang sana. Ia ibaratnya seorang  cowok yang ganteng,  tinggi, putih, bersih dan tegap.  Tinggal di balik tembok istana yang dikelilingi dengan benteng yang tinggi. Makanan tak pernah kehabisan. Saat makanannya habis, sang majikan segera menambahkannya. Tak perlu lagi mengais-ngais di dekat comberan ataupun di pasir mencari makanan berebutan dengan yang lainnya.

Suatu hari, aku ke mayoa dan menitipkan pesan pada pamanku untuk memberinya makan. Awalnya mau kubawa ke rumahnya saja. Dia punya kandang yang tak terpakai. Akan di kandangkan selama di sana. Tapi ternyata ada anak ayamnya yang baru menetas dan mesti di kandangkan. Aku takut, ia akan hilang jika di lepas di sana. Ia belum pernah menikmati alam bebas. "Biar nanti saya ke rumahmu kasi makan kalau saya pergi mesjid". Kata pamanku memberi solusi.

Berjalan satu dua hari, aman-aman saja. Ke tiga harinya....   "ayamnya  hilang". Kata pamanku di balik telfon.
Suaranya yang lantang tiap subuh, pasti telah menggoda sang pencuri ayam. Menurut ayahku. "Pasti ada yang curi'. Ia juga sih.... Apalagi rumah kosong. Tetangga juga jauh.

Tak apalah ia hilang.  Yang penting ayam rasku, si merah tak hilang. Si merah adalah kesayangan aku dan suami. Karena dia, kami bisa makan telur gratis.  higinis. Rasanya manis (klo di buat kue), dan kalau di makan pasti habis. He.... he... he...sok puitis.
Pamanku kembali menelfon. Ternyata si  putih ada, berkeliaran di belakang rumah dan tak bisa ia tangkap.

Sepulangnya kami dari mayoa, hanya parkir motor, langsung mencari si putih. Buronan kami!

"Itu dia". Tunjuk suamiku saat mendengar kokokannya yang khas. Pelan-pelan suamiku mendekatinya. Ia lari. Nampaknya sudah tak mau lagi masuk dalam sangkar emas.

Sangat liar. Suamiku sampai ngos-ngosan memburunya. Dia begitu gesit dengan badannya yang besar dan tegap. "Ayam ta ka pale itu yang besar? Ku kira siapa punya". Kata mirna saat kutanyakan keberadaan ayamku td.

Dia sudah terjepit. Aku menghadangnya. Suamiku di belakangnya. Tembok kiri kanan."kau takkan lolos".
Ia kedepan, ke belakang. Terjebak. "Auuuu!" Aku berteriak. Ia melompat ke arahku, menerobos pertahananku. Aku otomatis menghindar. Takut di patok. Apalagi ia sedang ketakutan. Bisa saja ia menyerangku dengan membabi buta.

"Biarkanmi saja daeng". Aku menyerah. Sudah hampir 30 menit kami berburu namun tak ada hasil. Cuma Berkeliling di belakang rumah. Ia juga tak mau pergi jauh. Suamiku tak menyerah. Ia penasaran. Selain itu Ia sayang juga sama ayam itu. Di pelihara dari kecil, saat masih lucu-lucunya dengan warna yang menarik hingga besar. Ia takut ada yang mengambilnya.

Si putih ini termasuk beruntung. Umurnya panjang. Aku memilihnya menjadi pendamping hidup si merah setelah melalui seleksi berminggu-minggu. Ia yang paling tegap di antara semua pejantan dan agak ramping. Pejantan yang ideal yang mampu menghasilkan keturunan yang bagus. Kata pak google. Tapi sampai sekarang, si merah tak pernah mengerami telurnya. Kuputuskan menyantap habis telurnya tiap pagi. Lagian, aku  juga sudah beli anak ayam ras 6 ekor.

Enam temannya telah di eksekusi.  Aku sebenarnya sedih melepas kepergiannya. Aku tak mau melihat tubuh mereka  yang tergeletak bersimbah darah. Tapi.... itulah takdirnya. Jadi ayam potong. Mungkin itu juga yang membuatnya trauma. Satu demi satu temannya menghilang. Awalnya dua yang menghilang. (Aku potong saat mertuaku datang. )Yang kedua, hilang 4, (kupotong saat ramadhan) dan tak pernah kembali. Mungkin Ia  bertanya-tanya. "Kemanakah semua temanku ? Aku rindu canda tawa mereka. Rindu berebut perhatian dengan si merah... dengan berkokok selantang dan seindah mungkin. Hanya si merah saja yang betina, sehingga ia jadi rebutan. Si merah pun kadang bertanya... kemana mereka semua?

Saat malaikat turun ke bumi di seperempat malam, ia mungkin pernah bertanya. Dan jawabannya sungguh mengejutkannya sehingga ia mau lari.
"Teman-temanmu telah mati".
"Mati? Aku belum mau mati. Aku masih ingin hidup. Aku ingin melihat dunia luar. Aku ingin terbang. Aku ingin seperti teman-temanku yang di luar sana, yang selalu memanggilku di balik tembok dan menceritakan indahnya hidup di luar. Bertengger di dahan-dahan pohon yang rindang dan bercengkerama, menggoda para betina dengan kokokannya". Dan akhirnya... ia berhasil!"

Suamiku terus memburu. Nampaknya ayam itu juga telah lelah. Tak bisa mengelak, ia pun masuk ke kandang ayam Baco.
Akhir dari petualangannya.
***
Ia menghilang lagi. Nampaknya sudah tau cara melewati pagar tembok itu. Tapi ia takkan pergi jauh. Palingan hanya di belakang rumah menebar pesona dengan ayam-ayam Baco. Atau memburu para betina itu jika tak tergoda juga. Walhasil.... mereka semua lari terbirit-birit.

Musim penyakit tiba. Pergantian musim hujan ke musim kemarau membuat virus-virus beraksi. Bukan hanya manusia yang terkena flu dan batuk berdahak. Para unggas juga. Banyak ayam tetangga yang mati.
Bahaya! Si putih kan ada di luarrr.....

Suamikupun menangkapnya.
Hari pertama masuk istana, ia baik-baik saja. Hari kedua, ia sudah tak nyaman. Jarang berkokok. Mungkin virusnya baru beraksi. Si merah juga sudah ketularan. Hidungnya sudah basah. Dengan sigap kubelikan bodrex. Si merah gampang saja di berikan obat. Dia jinak.  Si putih.... ia sepertinya begitu benci padaku. "Oh  iya.... kasi saja di minumannya. Esoknya....ia
Sudah sehat nampaknya. Ia kembali aktif seperti biasanya.

Tapi.... suara kokokannya jadi kecil. seperti tercekik.
Radang tenggorokan. Itulah mungkin yang menyerangnya. Ciri-cirinya sama dengan penjelasan pak google yang di sebabkan oleh virus dan bakteri. Harus minum antibiotik. Kubiarkan tanpa memberinya obat. "Galak, sih!"

Sudah dua minggu suaranya tak kembali. Mendengar ia berkokok dengan suara yang kecil, malah terasa lucu dan menertawainya. Mungkin ia tahu arti dari tawaku. Karena, jika aku di dekatnya, ia akan melirikku lalu melebarkan sayap kanannya seperti hendak menyerangku. Aku menjauh. Ketakutan. Ia semakin menjadi-jadi. Agar ia takut, aku pegang sebuah balok-balok lalu mengancamnya. Tapi malah, ia langsung menyerangku. Aku balik menyerangnya dengan balok-balok itu.
Atau dia marah karena aku tak mengobatinya? Membelikan antibiotik di warung? Sehingga suaranya tak kembali?
"Beli sendiri! Siapa suruh jadi ayam galak!" He... he... he...

"Awas, ya! Kalo macam-macam! Lebaran haji juga sudah dekat.
Akan ku potong kau dengan Bismillah......"

Jika ia keluar, sudah aku biarkan. Mungkin ia lebih bahagia bisa berada di luar sana. Lagian, umurnya sudah tak lama lagi.

Apakah di luar sana ia benar-benar bebas? Tidak. Ia punya saingan dalam berburu betina. Ayam hitam bangkok milik baco nampakx lebih garang dari dirinya. Kecil, tapi gesit. Jika bertemu dengan si hitam, ia akan melarikan diri. Kalau tak ada jalan keluar lagi, ia akan menyelamatkan diri ke dalam bentengnya. Aman. Apalagi kalau suamiku ada.

Berkeliaran di depan rumah orang, ia juga di usir. Di lempari batu. Akhirnya ia berlari dan sampai di depan rumah dan masuk. "Ternyata ia tau juga kediamannya". Soalnya ua belum pernah ke halaman depan. Biasanya cuma di kebun belakang.

Suamiku merasa kasian. Ia tak mau si putih berkeliaran, lalu di buru sama si hitam, atau di lempari oleh tetangga. Si putih ia tangkap dan kakinya di ikat. Biar tak bisa keluar lagi melompati dinding tembok.

"Daengggg!daengggg!!!" Belum ada sahutan dari dari dalam. Aku tambah volume suaraku karena panik."daeng....! Daeng!!!" Aku benar-benar kaget melihat si putih berlumuran darah di lehernya. "Yaaaaa...!" Barulah kuhentikan teriakanku. "Ayam ta' daeng!!!!"

Si hitam langsung mencari jalan keluar. Takut! "Pasti dia pelakunya. Yang telah menyerang si putih. Si putih tak berdaya. Ikatan kakinya membuatnya tak bis bergerak bebas. Sehingga si merahpun dengan leluasa menyerangnya dari kiri kanan.

Mahkota di atas kepalanya yang merah, semakin merah dengan menetesnya darah. "Kasiannnn kamu putih..."

Aku marahi suamiku. Karena telah mengikatnya. Lalu membuka pintu belakang. Sehingga si merah masuk. Aku cepat-cepat menyuruhnya membeli betadine untuk mengobati lukanya. Sekalian amoxilin, biar suaranya bisa kembali. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Suaranya sudah hilang, ia malah di serang tanpa perlawanan yang berarti.

Sambil menunggu suamiku beli obat, akupun memberinya minum. Paruhnya terbuka dengan lidah keluar masuk. Lelah. Melihat air yang aku sodorkan, ia pun meminumnya....

Nampaknya ia juga trauma dengan serangan membabi buta si hitam.

Darah yang berlumuran di sekitar lehernya di cuci, lalu mahkotanya di bersihkan darahnya lalu di olesi betadin. Mata kirinya hampir buta seandainya ia tak mengelak.karena sebuah patokan nampak jelas di atas matanya. Membuatnya selalu menutup mata kirinya.

Lehernya yang basah, mebuatnya mengepakkan sayapnya tuk menghilangkan air yang masih menempel lalu berjemur di bawah matahari. Sesekali memejamkan mata.

Semoga kau tak tergoda lagi tuk keluar. Karena di luar sana, kadang tak seindah yang dibayangkan.

Seperti biasanya, tiap pagi si putih selalu berkokok. Namun kokokannya kali ini lebih sering. Mungkinah dia juga senang dengan perayaan hari raya idul qurban hari ini? Ataukah malaikat telah memberitahunya bahwa tak lama lagi ia akan menyusul teman-temannya?

Imam mulai takbiratul ihram "allaaaaaahu akbar." Ayamkupun tak ketinggalan "kok ko ko koooooookkkkkkkkk". ,

Aku pasti akan rindu padanya....
"Janganmi di potong si putih le...kasian...."
Kataku kemarin pada suamiku lagi. Tapi tetap dia berkata, "potongmi saja. Sudah takdirnya jadi ayam potong."

Dua ekor ayam telah di potong yang di bawa oleh suamiku dalam ember. Nampak ekor si putih tersembul.
Aku tak sanggup melihatnya. Aku tak mau membersihkan dan mencabuti bulu-bulunya yang biasanya jadi tugasku. Aku masih tak ikhlas melepas kepergiannya.

Hampir setahun ia kupelihara dan selalu menjadi bahan pembicaraan antara aku dan suami.
Biarpun ia benci dan takut padaku, tapi dia telah menjadi bagian dari hari-hariku. Memberinya makan, minum, perhatian, dll.

Akhirnya dengan rela, suamiku yang membersihkan kedua ayam itu dan mencabuti bulu-bulunya.

Putih.....selamat jalan. Semoga kau di terima di sisinya. Aku pasti akan rindu dengan kokokanmu.

Kamis, 04 September 2014

My wish in my birthday (33)

Tak terasa umurku telah menginjak 33 tahun. Tak ada ucapan selamat ataupun hadiah. Karena aku merahasiakannya. Di facebook aku sembunyikan.

Aku memang tak suka merayakan ultahku. Karena itu artinya pengeluaran. He....he...he...

Beberapa tahun yang lalu, saat rata-rata gurunya masih lajang, masih terbawa dengan jiwa mudanya, kami biasanya mentraktir teman-teman ke warung ataupun membelikan sesuatu tuk di makan.

Tradisi itu telah menghilang saat satu demi satu para guru muda yang masih lajang,  bertemu dengan jodohnya dan menikah.  Ada yang menikah dengan pacarnya sewaktu kuliah atau kenal diprajabatan, ada juga yang dijodohkan. Seperti aku! He... he he... kami tak punya lagi kesempatan tuk kumpul-kumpul, sambil makan kapurung atau barobbo di rumahnya bu Erni, stamplas kami, sambil bergosip ria tentang masalah sekolah, atau guru baru yang jadi incaran. Sekarang....Semuanya pada sibuk jadi ibu rumah tangga. Ngurus suami, anak, dll. Tinggal bu Syam dan Bu Erni yang belum menikah sampai saat ini. Bu syam juga sudah di mutasi ke smk. Namun kami masih selalu bersama. Kalau tak bertemu langsung, kontak-kontakan melalui grup bbm ataupun facebook.

Aku senang tradisi itu luntur. Aku kurang suka kalau teman-teman mengucapkan " selamat ulang tahun na...."
"Semoga cepat dapat jodoh...." dulu. Waktu belum laku-laku. He...he...he.. "semoga cepat dapat momongan", aminnn... semoga ya Allah. Bagus sih. Di doakan. Semoga doa mereka di terima. "Traktirannya, na...." ini nih intinya. Kalau dulu guru masih sedikit, waktu masih sekolah baru. Tahun demi tahun gurunya bertambah. Kalau harus di traktir semua....? Untung kalau lagi ada uang... kalau lagi boke'? Nambah utang lagi dong.... padahal cicilan di mana-mana. Gaji ataupun tunjangan yang belum di tangan saja sudah ada pos-posnya masing-masing. Bayar karpet, bayar tas, tupperware, sophie martin, dsb. Yang sudah sertifikasi saja, suami istri malah! Dengan pangkat 3d, Masih mengeluh. "Tidak ada uang!". "Ha...ha...ha...". Memang uang itu tidak ada cukupnya. Kalau yang sertifikasi saja mengeluh.... Apalagi aku yang cuma dapat non sertifikasi? Hanya 0,0 persen dari gaji sertifikasi! Tapi, kalau aku saja yang sudah pns dengan gaji tetap mengeluh... bagaimana ya... kehidupan orang-orang yang kerjanya cuma serabutan. Hanya memulung, menjadi buruh tani dengan penghasilan tetap. Lagi-lagi, hanya rasa syukur yang selalu keluar dari bibirku.

ada seorang teman yang  yang masih menjalankan tradisi itu. Itupun cuma satu orang. Bu syam. Wajarrr... masih lajang, dan keluarganya mapan. Itupun orang tertentu saja yang ia traktir. Termasuk aku. Aku sih mau saja kalau di traktir. He...he...he...  Tak ada hadiah ulang tahun yang kami berikan. Bingung! Mau kasih apa. Semuanya sudah ada. Paling yang bisa kami beli barang murahan. Malu juga ngasihnya. Akhirnya dengan tangan kosong, kami menikmati traktirannya. Aku, bnur, b.sur, b.erni, dan lainnya.

Kalau traktir sih itu juga sudah hal biasa. Tak ulang tahunpun kadang aku di undang makan di warung coto, bertiga dengan pacarnya. (Jadi obat nyamuk. He...he...he.... yang penting kenyang). Teman-teman yang lain pun begitu (tapi cuma close friend aja. 7 orang). "Mauki bungkus tuk suamita?" Bu Syam selalu bertanya di akhir acara traktirannya. "Ndak usahmi". Walaupun sebenarnya, aku ingat dia. Membawakannya oleh-oleh makanan ke rumah adalah hal yang paling menyenangkan. Kalau lagi rapat dan ada nasi bungkus, aku makan nasi dan sayurnya. Ayamnya aku bungkus buat suami. Entahlah. Selalu saja ingat suami kalau makan makanan enak.

Bu Syam tau itu. Makanya selalu di tawari. Tapi selalu kutolak. "Sudah baik dapat makan gratis. Minta tambah lagi". Pikirku.
Seandainya bisa, aku mau bungkus saja  makananku buat suamiku. Tapi malu. Kalau aku bungkus, kan gak enak cuma liatin mereka makan. Gak enak juga kan bungkus lalu pergi tanpa menemani mereka makan.... tapi biasa juga dia berinisiatif sendiri membungkuskan tuk suamiku.

Ia teman yang sangat baik. Tak ada cela yang bisa kudapatkan dari pribadinya. Cantik. Kaya. Pintar. Sederhana..... dan... sempurna tuk menjadi istri idaman. Sayangnya.... jodoh belum juga menyapanya di umurnya yang ke 32.  Pendamping sudah di depan mata.... namun halangan dan rintangan ada saja yang melanda. Seusai sholat, dan berdoa memohon agar di karuniai momongan secepatnya, tak lupa juga kusebut namanya agar ia cepat dapat jodoh.

Reski.... jodoh....kematian.... memang rahasia Ilahi.

Suamiku.... kalau tak aku ingatkan, tak akan mengucapkan selamat ulang tahun. Waktu mau ke  sulteng beberapa hari tuk melihat kebunnya, aku mengingatkannya. Tak masalah kalau tak ingat sih.... it's not a big deal. Bisa saja ia lagi sibuk di kebun. Memperbaiki lahannya tuk masa depan kami. Agar bisa menjadi penghasilan di masa tua.

Namun....Ulang tahun pernikahan kami ia selalu ingat. Karena itu adalah hal yang paling bersejarah dalam hidup kami. Tanggal, hari, bulan, dan tahun itu, semuanya baru di mulai. Akad nikah, perkenalan pertama, pertama mendengar suaranya, ngobrol.... it was done for the first time.

Mengingat semua itu....kenangan pernikahanku jadi ratu sehari.... aku jadi rindu padanya.

Aku paling suka mengingatkannya tentang pernikahan kami, tentang malam pertama dan kebersamaan kami saat pengantin baru. Banyak hal lucu yang menjadi rahasia kami berdua.

Yang menikah setelah pacaran tentunya tak terlalu canggung.

Aku.... tak pernah kenal, liat, mendengar suaranya.... pas nikah baru ketemu.....tentunya sangat mendebarkan.

Kebersamaan kami telah memasuki 4 tahun 7 bulan. Lebih dari cukup tuk memahami satu sama lain. Lebih dari cukup tuk dinamakan cinta. Usia matang saat kami menikah juga menjadikan kami tak lagi neko-neko dalam memandang hidup. Selalu bersyukur atas reski Nya. Walaupun sebuah harapan belum terkabulkan olehNya.

Kami merindukan canda tawa seorang anak yang bisa menemani hari-hari kami. Kami berdoa, bersabar, dan berobat. Semoga yang membaca postingan ini juga, mau mengikhlaskan seuntai doa buat kami agar kami segera bisa punya anak.

Jalani saja apa adanya. Tuhan pasti tau yang terbaik buat hambanya. Karena sebenarnya, tanpa kita sadari, kita lebih beruntung dari yang lainnya.

Kami sedang berusaha untuk itu. Suatu saat, pasti punya anak. Dengan izin Allah.
Namun, Aku beruntung. Karena sudah menikah dengan orang yang tepat. Dan aku bahagia. Berapa banyak orang yang sudah punya anak, begitu mudahnya hamil, namun rumah tangganya di ujung kehancuran.

Kita memang harus bijak dalam memandang hidup! Tak selamanya doa kita langsung terkabul. Mungkin tertunda.... menunggu waktu yang tepat. Seperti pernikahanku dengan suamiku. Sekian lama aku menderita dengan cemoohan karena tak laku-laku, akhirnya Tuhan mengirimkan pendamping hidup yang begitu sempurna dalam hidupku di umurku yang ke 29. Tak pernah kusesali.... aku menikah di umur yang hampir uzur. Menurut orang kampung. Tapi.... seandainya aku menikah di umur 25 tahun.... apakah suamiku adalah pendampingku yang sekarang?

Sampai sekarang.... aku tetap berbaik sangka pada Tuhan. Ia pasti akan memberikan keturunan yang terbaik pada saat yang tepat.Ia mungkin  masih memilah dan memilih calon bibitku di sana. Dalam taraf penyeleksian. Mudah-mudahan di tahun ini, Ia telah temukan. Dan mengirimkan malaikat tuk membawa ruh itu ke dalam rahimku.

Dia lagi apa ya... di sana? Seandainya ia di sini, kami akan pergi makan mi pangsit favoritnya. Seperti tahun lalu.

Ia tadi nelfon saat aku lagi mengisi bensin. "Nantipi nelfon na sayang... karena terlambat maka". Ku tutup telfonnya. Ia belum mengucapkan "selamat ulang tahun sayang....".

Ah! Itu tak penting.
Yang penting ia sehat di sana dan pulang dengan selamat.

Make a wishnya di ulang tahunku yang ke 33....
"Semoga aku cepat hamil, punya baby yang lucu-lucu....
Semoga kami panjang umur,  pernikahan kami langgeng sampai kakek nenek. Aminnnnn.......".050914***

Yang baca postingan ini. Tolong di aminkan juga. Aku butuh amin 40 orang. Karena katanya, kalau ada orang yang mengaminkan doa kita 40 orang, maka doanya akan terkabul.

Rabu, 03 September 2014

Bukan Pelanggan Setia

Bukan pelanggan setia

Pagi-pagi kudengar suara hpku berbunyi. Entah di mana. Oh iya. Kemarin aku simpan di ruang tamu, di atas meja saat selesai terima telfon dari suamiku. Itu pasti dari dia lagi. Pagi-pagi nelfon. Tuk membangunkanku dari kejauhan. Tau aja kalau aku belum bangun.
Pastilah. Dia ada di rumah saja, aku selalu di bangunkan tuk sholat subuh. Itupun tak langsung bangun. Kalau ia tak menakut-nakuti aku biasanya tak beranjak.
"Sudah maumi jam tujuh he.... bangun maki sayang....." memanggilku yang masih dalam kelambu berselimut.
Kalau mendengar kata-kata jam 7 aku langsung kaget biasanya. "Ha! Sudah jam 7?" Buru-buru kubuka mataku dan langsung bangun. Mimpi indahku terputus.
"Katanya sudah jam 7. Tuh baru jam enam lewat". Aku marah padanya dengan menunjukkan muka seram. Sambil mencubitnya. bercanda. Ia tahu itu. "Kan nanti jam 7 juga". Katanya tersenyum. Karena berhasil mengelabuiku tuk bangun cepat. Tapi sejak aku menjual kue di sekolahan, aku jadi rajin bangun. Tapi tetap di bangunkan. Hanya tak lagi menunda-nunda tuk bangun.

Ku liat nama yang muncul di layar. "Nawar". Betulkan. Suamiku. Siapa lagi kalau bukan dia. "Siapa sih ini. Ganggu saja orang tidur". Candaku. Pura-pura tak kenal. "Jalangkotenya sudah di goreng sayang?" Tanyanya.
Oh iya... tadi malam aku bikin jalangkote. Sebenarnya agak malas membuatnya. tapi.... itung-itung lumayan tuk pembeli bensin. Sudah beberapa hari ini aku memang mulai lagi menjual walau sempat berhenti gara-gara sakit sakit kepala. Ke dokter, katanya normal tekanan darahnya. Periksa kolesterol juga aman. Jadi bingung. Karena kepalaku kayak berat. Tak sakit. Kurasakan detak detak urat syaraf ku. Tak bisa tidur.
Kubaca di internet, aku kira aku terkena  tension headache. Tak bisa tidur. Sakit kepala karena kelelahan. Benar.... aku memang kelelahan gara-gara bikin donat dan jalangkote sampai larut malam, pagi-pagi bangun tuk goreng jalangkote nya dan menaburi donatku dengan seres. Di sekolah ngajar sampai jam dua lalu lanjut lagi ngajar les anak kelas tiga. Tak ada kesempatan tuk tidur siang. Sedang aku tuti. Tukang tidur.

Pola hidup yang berubah drastis membuatku sakit. Akhirnya aku berhenti menjual.

"Kenapaki tidak menjual jalangkote lagi?" Teman-teman selalu bertanya.  "Capek....". Kataku lesu. Aku tak ingin sakit kepala seperti itu lagi.
Jalangkote juga sudah ada di kantin mama erin sejak aku berhenti menjual. Malah jalangkotenya enak. Karena masih panas.

Kini mama erin sudah tak lagi menjual di sekolah. Ia pergi. Karena rumahnya di sita oleh bank karena tak mampu bayar kredit. Kasiannnn..... aku tahu perasaannya bagaimana. Malu! Aku tahu rasanya. Karena rumahku dulu pernah di semprot oleh pegawai bank. Tapi tulisan itu akan ayahku hapus kalau pegawainya pergi. Malu!

Sambil menerima telfon, aku kebelakang rumah menuju kandang ayam tuk memberinya makan. Kudengar ayamku berkotek-kotek, sendiri,kelaparan. Sebenarnya ada dua. Jantan dan betina. Yang jantannya entah ke mana. Aku lepas. Tapi betinanya aku kurung. Karena ayam petelur. Lumayan. Tak perlu lagi beli telur ayam ras. Dulu banyak. Ada 8 dengan ayam warna- warni.tapi yang warna-warni semuanya jantan. Setelah 7 bulan baru badannya besar. Tak seperti ayam potong yang di jual di pasar. Baru sebulan sedah gemuk-gemuk. Aku potong saat lebaran idul firti. Hanya dua yang aku sisakan. Biar ada temannya yang ayam ras. Biar tak kesunyian.

Sudah jam berapa ya. Jalkotku kan belum ku goreng. "Sudahmi dulu na daeng. Maumaka goreng jalkotku" sambil memberi makan tadi, aku tetap telfon-telfonan, cerita tentang ayamku.

Hanya dua puluh buah yang aku buat. Soalnya kalau kebanyakan kadang kembali. Kalau suamiku ada, itu akan menjadi tugasnya tuk di babat habis. Lagian kalau tiap hari ada yang kembali, Bisa tekor dong aku nanti.

"Lomboknya tidak terlalu pedis, ba!". Protes pak yatno. Sudah dua kali ia komplain seperti itu. "Kemarin sudah kukasi pedis sekali pak. Tapi kita tidak beli. Malah kemarin pak Syah hanya makan satu karena katanya terlalu pedis". Padahal dia pelanggan setia. Tiap hari beli. Minimal makan dua buah jalangkote, satu donat." Lagian, kita juga bukan pelanggan setia pak. Seandainya pelanggan setia mungkin aku buatkan sendiri satu botol yang sangat pedis". Candaku. Yang mendengarnya langsung tertawa. Mendengar ucapanku yang ceplas ceplos.

Selalu ada saja komentar tentang jalangkote buatanku. Kadang ada yang bilang, terlalu asin, terlalu kecil, terlalu kecut (lomboknya)... di terima saja dengan lapang dada. He he he. Sebuah koreksi akan memberikan kesempurnaan, walaupun hati terkadang merasa merana mendengar semua itu.

"Terima saran tawwa". Saat bu Has melihat jalangkoteku. Aku tak paham. "Maksudnya?" "Ini! Jalangkotenya sudah besar", sambil mencomot jalangkote buatanku. Aku cuma tersenyum mendengar pujiannya. Dia adalah pelanggan setiaku. Jadi harus di follow up komplainnya.

"Bu, Bia!" Aku berbalik mendengar panggilan bu Dar Sambil membuka mulut. Melongo. Menunggu kelanjutan ucapannya. "Enak ba jalangkotenya lagi ini". Alhamdulillah.
He he he...senang juga mendengarnya. Walau sebenarnya aku ragu dengan rasanya tadi malam. Sampai berkali-kali harus ku coba.

Lidah orang tak semua sama. Kadang aku buat donat, yang menurutku kurang bagus, eh... ternyata ada yang suka. "Yang seperti ini saya suka". Yang lain malah bilang, "tidak enak seperti kemarin". Aku kira pas rasanya, katanya "terlalu asin". Yang lain bilang...  "kurang asin".

Mau ikut yang mana? Bingung!
Yang pastinya, suara terbanyak dan pelanggan setia selalu jadi prioritas.***040914

Mengundurkan Diri Jadi Wali Kelas

Pembagian raport sudah di depan mata. Besok. Hari ini rapat kenaikan kelas. Namun, sebelum rapat di mulai, wali-wali kelas dipanggil oleh kepsek tentang siswa yang bermasalah yang kira-kira terancam tidak naik kelas.

"Kelas x1 siapa walinya?" Tanya kepsek.
"Saya pak!"
"Berapa yang tidak naik kelas?"
"Lolos semua pak".
"Jadi ndak ada masalah ya".

Aman. Anggotanya bu Satir naik kelas semua.

Satu demi satu wali-wali dimintai keterangan. Ada yang satu, dua juga yang sampai tujuh anggotanya tidak naik kelas. Pemecah rekor. Tapi wajar. Itu adalah kelas yang sebenarnya tidak lulus waktu ujian masuk. Tapi  tetap harus masuk. Karena sekolah tak boleh menolak siswa. Semua anak harus sekolah. Yang penting anak itu ikut tes masuk.

Anak waliku juga ada yang tidak lolos dua orang. Yang satu sudah pernah berhenti saat semester dua berjalan. Berkali-kali dikirimkan surat, orangtuanya tak pernah datang. Dan anak yang membawa surat panggilan terakhirku mengatakan kalau Makmur tak mau sekolah kalau tak dibelikan motor besar. Padahal ke sekolah ia sudah nik motor. Mau lagi dibelikan motor besar.

Anak-anak sekarang. Tak tahu berterima kasih. Harusnya bersyukur karena ia ke sekolah sudah naik motor. Teman-temannya yang lain malah hanya bisa naik bus sekolah. Bahkan masih ada yang jalan kaki, yang tinggalnya di dekat gunung yang tak dilewati jalur bus sekolah.

Sebenarnya makmur sudah di coret. Tapi menjelang ujian, kakaknya datang membawa makmur. Ia ingin sekolah lagi. Ia minta supaya diisinkan ikut ujian. Nanti akan pindah ke sekolah lain setelah ujian. Tak apalah. Mungkin ia sudah sadar dan mau berubah saat pindah ke sekolah lain. Padahal anak ini sebenarnya sabar. Tak banyak bicara. Tapi juga tak banyak kerja. Tak pernah mengerjakan tugasnya.

Yang sudah melapor tentang anak walinya bisa keluar. Sisa aku dan wiwin. Kami berdua siap-siap keluar, namun kepsek melarang kami. Menyuruh kami duduk sebentar

Wah.... kayaknya ada masalah ini. Apalagi ya!
"Saya perhatikan, kita berdua ini kurang memperhatikan anak walinya... kalau memang tidak mampu jadi wali kelas, ibu bisa bilang. Nanti kita carikan solusinya.bagaimana?" Tak ada jawaban. Aku hanya saling memandang dengan wiwin lalu mendunduk.
"Kalau memang tidak bisa ibu bisa mengundurkan diri jadi wali kelas. Kita bisa kasi ke yang honor".
Benar kan? Bermasalah lagi. Aku sih mengaku saja. Aku memang tak seperti wali kelas yang lain yang benar- benar selalu mengontrol anak walinya. Apalagi kalau hari sabtu saat kerja bakti. Masing-masing wali kelas mengawasi kelasnya masing-masing. Aku selalu terlambat.

Tanpa aku mereka juga kerja. Tapi lebih banyak yang bersembunyi di kantin. Kalau aku datang, baru mereka cepat-cepat berlari ke depan kelasnya pura-pura cabut rumput.
Tapi soal kehadiran siswa aku kadang mengontrol. Yang alpanya sudah tiga aku buatkan panggilan orang tua. Atau kalau ada yang sakit lebih dari satu hari tanpa keterangan dokter tetap akan di panggil orangtuanya.

Pernah kejadian. Anak yang bernama Baso Riska sakit. Adiknya yang bawa surat itu waktu hari rabu. Dan hari kamis ia masih tak datang. Aku buatkanlah surat tuk mengecek kebenarannya. Apalagi anak ini memang punya catatan hitam. Suka bolos. Sebelum aku mengajarnya dan menjadi walinya, aku sudah sering dengar namanya di sebut-sebut di ruang guru.
Ibu Baso datang. Ia cukup koperatif. Tak seperti kebanyakan orang tua lainnya yang selalu membela anaknya walaupun salah.
Ia sangat bersyukur di kirimu surat. Karena hari kamis itu ia mengira anaknya ke sekolah. Orang tuanya yang pedagang di pasar, pagi-pagi sekali sudah ke pasar menjual, membuatnya tak tahu kalau anaknya masih tidur di kamar dan tak ke sekolah. Seandainya aku tak mengiriminya surat ia tak akan tahu. Dan ia tak akan tahu kalau selama ini ia sering alpa dan bolos.

Aku berdua hany terdiam. "Bagaimana menurut bu wiwin?"Saat wiwin di tanya tentang kinerjany sebagai wali kels selama ini, "saya merasa pak, saya sudah berusaha melakukan yang terbaik. Anak wali saya yang tidak naik kelas ini pak, sudah berkali-kali saya kirimkan surat orang tuanya. Karena malas sekali ke sekolah. Bahkan saya pernah kunjungan rumah dan ketemu sama orangtuanya. Tapi tidak berubah juga pak. Bahkan orangtuanya sendiri sudah menyerah menasehati anaknya. Jadi saya mau bagaimana pak? Kalau orangtuaya saja sudah menyerah?"

Kepsek terdiam sejenak. Sunyi. Ia memperbaiki posisi kacamatnya yang miring. Lalu pandangannya betalih kepadaku.
"Kalau ibu?" Balik bertanya ke arahku.
Bismillah bismillah bismillah. Aku bingung. Mengundurkan diri atau tidak ya... kalau mengundurkan diri.... berarti tunjangan berkurang. Gaji bulananku kan sudah sangat menipis. Di potong bank, di potong koperasi, sisa 250 rb. Tunjangan wali kelas bisa dapat 500 rb pertiga bulan. Lumayan tuk bayar cicilan tupper ware, atau yang lainnya.
Aduh.... tapi gimana ya... jadi wali kelas juga korban perasaan. Kalau ada anak yang bermasalah, walinya yang kena getahnya. Selalu di cari. Kalau anak ipa sih mending. Anak-anaknya kalem. Jarang bermasalah. Kalau ips. Apalagi kelas XI ips4 anak waliku.  Jarangggg sekali tak bermasalah. Kalau tak berkelahi, bolos, alpa....
Aku putuskan saja...
"Tidak usahmi saya jadi wali kelas pak. Kita kasimi saja yang lain."
Aku mengundurkan diri. Kalaupun tunjanganku berkurang, aku yakin akan ada reski yang lain.
Mataku berkaca-kaca. Entah mengapa. Bukan tunjangan yang kusesali. Ada rasa sedih yang berkecamuk dalam batinku. Tapi entahlah.... aku memang bukanlah wali yang sempurna. Tapi itulah aku. Sampai di situ saja. Karena jiwaku memang bukan jiwa pemimpin seperti yang lainnya. Tapi minimal, aku masih selalu memberikan sedikit perhatian. Ada komplain dari teman tentangbanak waliku, aku telusuri. Karenabada juga wali yang bahkan tak memperhatikan siswanya. Biarpun alpanya sudah segudang, ia tak mengiriminya surat. Ia bilang kalau ia di absennya tak pernah alpa. Memang! Karena ia sendiri malas masuk ngajar. Kasi tugas lalu keluar dan tak masuk lagi.
Tak apa-apalah. Wali kelas juga bukan perkara gampang. Apalgi menulis rapornya. Tidak boleh salah. Sedang aku orangnya tidak teliti. Mana rapor tidak bisa di tip ex. Terpaksa rapor itu kuganti lembarannya dengan foto kopian. Sejak menikah, aku di bantu  suami menulisnya. Walaupun cuma tamat sma paket c, tapi ia lumayan teliti.

Rapat kenaikan kelas di mulai. Membahas tentang anak-anak yang tidak naik kelas. Apakah bisa di tolong apa tidak. Siapa tahu di detik-dtik terakhir ada guru yang berubah pikiran mengubah nilai seorang siswa dari tidak tuntas menjadi tuntas. Dengan segala pertimbangan yang ada, agar nanti tak menghalagi masa depan siswa.

Mata pelajaran jurusan, jika satu saja tidak tuntas maka tidak akan naik kelas. Kalau mata pelajarn umum tiga tidak tuntas tidak naik kelas. Tapi itu bisa berbeda sesuai dengan kebijakan kepala sekolah.

Agenda ke dua pembagian jam mengajar. Kurikulum 2013 membuat semua berubah. Guru agama yang dulunya tak cukup karena ada tiga guru jadi pas karena ada penambahan jam. Matematika yang dulunya hanya 4 jam di ipa menjadi 8 jam. Kayaknya akan kerja rodi nih guru matematika. Padahal dulu ada banyak guru matematika. Dua sudah di mutasi ke sekolah lain karena kelebihan guru. Yang kasian adalah bahasa inggris. Berkurang jadi dua jam saja perminggu.

Kalau di kota mungkin wajar. Banyak tempat kursusan dan anak-anak mau belajar. Di kampung ini....? Satu demi satu kursusan tutup. Tak pernah ada yang bertahan lama. Padahal biaya yang di patok juga sangat murah.

Mungkin anaknya mau tapi orangtuanya tak mau. Plus tak mampu bayar. Ada orangtua mampu tapi anaknya tak mau. Ada jugabyang dua duanya mau tapi itu bisa di hitung satu-satu. Rugi kalau ngajar kursus hanya satu dua orang.
Tapi biarlah...kita juga belum tahu bagaimana kurikulum 2013 itu. Yang penting jam ku masih cukup 24 jam. Yang kasian bu eni. Tak lagi mengajar bahasa inggris. Tapi beralih ke bahasa indonesia. Berhubung dia masih honor, jadi di utamakan pns harus cukup jam nya 24 jam. Bu nofi aja hanya 12 jam di tambah dengan jabatannya jadi kurikulum yang terhitung 12 jam sehingga cukup 24 jam.

Agenda ke tiga. Pembagian wali kelas. Aku sudah tahu. Namaku pasti tak di sebut. Aku sudah mengundurkan diri. Teman-teman pun sudah tahu. Setelah keluar dari ruang kepsek tadi, aku langsung memproklamirkan pengunduran diriku karena menurut kepsek aku tak maksimal menjadi wali kelas.

"Padahal, dia mi kayaknya yang selalu kirim surat ke orang tua siswa". Celetuk Dim. Membelaku.

Tapi sudah lah. Aku tak menyesali pengunduran diriku.

"Bu Hasbiah. Wali kelas XI IPA1".
Aku kaget... kok namaku masih di sebut? Wali kelas IPA1 lagi. Kayaknya aku beruntung mengundurkan diri. Bisa dapat kelas yang bagus. Biasanya kan dapat kelas IPS.
Alhamdulillah......